Ini 5 Fakta-Mitos Seputar Anak Psikologi

Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar ada seseorang yang mengaku sebagai mahasiswa psikologi? Mungkin Anda beranggapan bahwa kami bisa membaca pikiran? Tidak masalah, Anda bukan satu-satunya orang yang beranggapan seperti itu.

Selain bisa membaca pikiran, ada beberapa anggapan lain di luar sana tentang anak psikologi. Anggapan itu bisa benar atau salah. Berikut ulasan fakta-mitosnya!

Kami Bisa Langsung Mengetahui Kepribadian Seseorang

Mitos. “Berarti Anda bisa tau dong saya orangnya seperti apa?” Pertanyaan ini sering kami terima setelah memperkenalkan diri sebagai mahasiswa psikologi. Pertanyaan ini seperti sudah tidak asing lagi bagi orang-orang yang menggeluti dunia psikologi. Hampir sebagian besar orang yang kuliah di psikologi mengalaminya.

Sebenarnya, kami bisa mengetahui seseorang bukan dari struktur wajah apalagi garis telapak tangan. Kami baru bisa mengetahui seseorang setelah melalui serangkaian tes kepribadian. Apabila kami bisa langsung mengetahui orang itu seperti apa, tentu disebabkan oleh banyak kemungkinan. Bisa jadi sudah dekat sekali dengan orang tersebut, sehingga sedikit lebih tahu.

Kami Tidak Punya Masalah

Mitos. Kami sama dengan Anda. Sama-sama manusia yang sedang menjalani kehidupan dan segala permasalahan di dunia. Sama halnya dengan dokter yang bisa sakit, kami pun bisa memiliki masalah seperti Anda.

Salah satu tugas kami memang mendengarkan masalah orang lain. Akan tetapi, terkadang kami juga butuh didengarkan. Hanya saja, kami memiliki tanggung jawab yang lebih. Kami bertanggung jawab untuk memberikan bantuan psikologis untuk permasalahan Anda.

Tugas Kami Tidak Hanya Mendengarkan

Fakta. “Ke psikolog kok bayarnya mahal sih? Padahal kita cuma ngomong aja.” Mungkin beberapa di antara Anda ada yang merasa seperti itu. Sebenarnya, ketika Anda bercerita, pada saat bersamaan kami sedang merumuskan masalah Anda.

Sesi bertemu dengan psikolog bukanlah momen bercerita biasa layaknya mengobrol dengan sahabat. Ketika Anda menceritakan masalah kepada psikolog, pada saat yang bersamaan, psikolog berusaha memahami Anda. Psikolog juga memikirkan bantuan dan terapi yang sekiranya bisa diberikan untuk dapat menyembuhkan.

Selain itu, terdapat aturan-aturan yang tidak boleh kami langgar  ketika mendengarkan cerita dalam sesi konseling. Salah satu aturan yang tidak boleh dilanggar adalah kami tidak diizinkan membocorkan identitas klien dan tidak boleh menceritakan masalah klien ke orang lain. Bahkan menceritakan masalah klien ke sesama anak psikologi pun tidak dianjurkan.

Kami Belum Bisa Menjadi Psikolog

Fakta. Jika kami baru mengambil S1, kami belum bisa membuka praktik dan tidak bisa disebut sebagai psikolog. Kami sudah bisa menjadi psikolog setelah menyelesaikan pendidikan S2. Kegiatan kami saat mengambil S1 pun hanya terbatas pada pemeriksaan hasil tes psikologi. Untuk melakukan terapi atau memberikan perlakuan, peran kami masih sebatas sebagai asisten psikolog.

Beban Moral

Fakta. Ada beban moral yang kami tanggung sebagai anak psikologi. Orang di sekitar kami berharap lebih ketika ada kejadian terkait isu-isu psikologis. Namun, kami juga menyadari bahwa ruang gerak kami terbatas karena ilmu yang belum memadai. Meskipun begitu, niatan kami untuk terus memberikan bantuan psikologis tetaplah ada.

Meskipun tidak sehebat mitos di luar sana, kami tetap berkeinginan untuk menyehatkan mental masyarakat. Dengan demikian, Anda tidak perlu ragu untuk tetap berbagi cerita dengan kami. Tidak perlu ragu karena kerahasiaan Anda pasti terjamin oleh orang-orang psikologi.

Salam kenal dari kami, anak psikologi…

Dzikria A. Primala

Write to be understood, speak to be heard and read to grow. Mahasiswi Psikologi. Nice to see ya!

Previous
Previous

Dilema Gen Milenial dalam Dunia Kerja

Next
Next

Kesepian? Siapa Takut! (1)