Ketika Diri Sendiri Juga Ingin Dipahami

Bagaimana perasaan kita jika kita selalu berusaha memahami perasaan sahabat, keluarga atau pasangan tapi mereka tidak berusaha memahami kita? Marah, kecewa, sedih?

Sebuah hal yang wajar apabila kita merasa ingin dipahami oleh orang lain. Emosi kita juga bisa lelah. Ketika kita merasa orang lain tidak mampu memahami kondisi dan perasaan diri kita, maka akan timbul perasaan kesepian dan merasa tak bermakna. Penelitan dengan mengunakan fMRI juga membuktikan bahwa merasa dipahami oleh orang lain akan mengaktifkan neuron yang berhubungan dengan reward dan koneksi dengan lingkungan sosial. Hal inilah yang membuat kita merasa berharga dan bahagia.

Tak Semua Orang Mau Memahami Orang Lain

Tidak semua energi yang kita miliki dapat digunakan untuk memahami segala macam perasaan ataupun permasalahan yang dimiliki orang lain. Beberapa dari kita mungkin saja tak bisa acuh terhadap kehidupan dan permasalahan orang lain, sehingga ketika kita melihat dan menghadapi perilaku seseorang kita mau mencoba memahami apa alasan-alasan psikologis dibaliknya. Kita mau terbuka dan tidak terburu-buru untuk menghakimi perbuatan seseorang begitu saja dengan berusaha mencari latar belakang struktural maupun sosio-cultural di balik setiap perilaku orang lain.

Namun, upaya untuk memahami orang lain tersebut seringkali melelahkan, baik secara mental maupun fisik. Memahami orang lain butuh atensi, awareness, dan analisis sosial yang tidak mudah. Hal ini membutuhkan perhatian pada setiap detil seperti bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan juga dinamika kehidupannya. Praktek dan realita memang tidak semudah teorinya. Bahkan, penelitian mencatat bahwa akurasi seseorang dalam memahami orang lain tidak ada yang mencapai 50%. Akurasi seseorang dalam memahami orang lain hanya mencapai 20% pada kategori orang asing, 35% pada kategori teman dekat atau pasangan. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya memahami seseorang, sekalipun itu orang terdekat kita.

Memahami orang lain di satu sisi memang sangat penting. Mampu memahami apa yang dirasakan oleh orang lain, apalagi pasangan, dapat membantu menjalin komunikasi yang lebih baik. Adanya komunikasi yang baik tersebut akan menentukan bagaimana keharmonisan hubungan. Seperti halnya beberapa contoh kasus perceraian yang terjadi, rata-rata disebabkan karena kurang adanya komunikasi dan pemahaman satu sama lain. Tak hanya terjadi pada pasangan saja, namun hal ini bisa juga terjadi dalam hubungan persahabatan. Sahabat adalah tempat alternatif bagi kita untuk berbagi cerita, menumpahkan segala perasaan marah dan kesedihan. Justru seringkali kita lebih bisa bercerita kepada sahabat dibandingkan orangtua. Terkadang kita lebih mampu mengungkapkan perasaan kita kepada sahabat dan menganggapnya lebih mampu memahami apa yang kita rasakan. Namun, bagaimana jika kebutuhan emosional kita untuk dipahami itu tidak didapatkan dari sahabat? Ya, sakit rasanya. Akhirnya diri yang menahan sendiri sakitnya.

Beri Jeda untuk Diri Sendiri

Perilaku yang paling menyakitkan hati itu seringkali tidak datang dari orang lain, melainkan dari orang yang paling dekat dengan kita. Pepatah pernah berkata bahwa musuh terbesarmu bisa jadi adalah sahabat terdekatmu. Tidak masalah, tidak semua orang bisa benar-benar memahami apa yang kita rasakan. Sesekali memang kita perlu jeda untuk diri sendiri, self-talk, meditasi, dan melakukan me time.

Memang, terkadang itu menyesakkan, sebab pada dasarnya setiap manusia punya kebutuhan untuk dipahami. Tapi bersyukurlah karena kita adalah orang yang terpilih. Kita adalah orang yang terpilih untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Jadi janganlah risau. Kita beruntung diberikan anugerah berupa awarenes atau compassion kepada teman-teman dan sahabat untuk dapat memahami setiap permasalahan orang lain. Asahlah hal itu, agar intuisi kita menjadi semakin tajam. Gunakanlah untuk membantu sahabat atau orang yang membutuhkan.

“Semoga suatu saat nanti, kita akan menemukan seseorang yang mampu memahami diri kita tanpa harus banyak bicara.”

Mirza Iqbal

Mirza. Chief Editor at Kognisia.co, His jargon is “money can’t buy happiness, but it can buy ice cream”

Previous
Previous

CURHAT: Saya Memiliki Keinginan Bunuh Diri dan Membunuh Orang Lain

Next
Next

Emosi Negatif di Masa Lalu dan Pencapaian Kebahagiaan