Kita Semua Butuh Resiliensi untuk Bisa Bangkit dari Keterpurukan

unsplash-image-DGdqJdjq7pA.jpg

Jika hidup adalah sebuah perjalanan. Lalu, sejauh kita melangkahkan kaki hingga saat ini, berapa kali kita jatuh?

Berapa kali kita gagal?

Berapa kali kita merasa terpuruk dan seakan tak bisa melangkah lagi?

***

Kegagalan, kesulitan, dan penderitaan adalah bagian dari pengalaman hidup manusia yang tidak dapat dihindari. Dari waktu ke waktu, kita akan berjumpa dengan peristiwa-peristiwa yang tidak terduga, dan mungkin saja membuat kita terjebak dalam keterpurukan. Begitulah roda kehidupan berjalan.

Setiap orang mempunyai cara yang berbeda dalam menanggapi peristiwa kemalangan. Sebagian orang terjebak dalam keterpurukan, tapi sebagian yang lain memilih untuk berusaha bangkit dari keterpurukan dan belajar dari pengalaman sulit itu. Perbedaan cara dalam bereaksi terhadap kemalangan dipengaruhi oleh sumber daya psikologis yang dimiliki oleh seseorang. Dalam bahasa psikologi, sumber daya psikologis yang mendorong seseorang untuk bangkit kembali dari keterpurukan, akrab disebut sebagai resiliensi.

“Seperti bola bekel, seseorang yang resilien akan memantul dan naik kembali dengan cepat saat terjatuh.”

Resiliensi diartikan sebagai sebuah kapasitas dinamis pada seseorang untuk bisa bertahan dan pulih dari tantangan yang mengancam stabilitas dan kelangsungan hidup. Resiliensi dapat juga dilihat sebagai kemampuan yang memengaruhi keberhasilan seseorang dalam mengatasi stres. Seseorang yang resilien memiliki peluang lebih besar untuk bisa menyesuaikan diri, bangkit, dan tetap berkembang meskipun berhadapan dengan situasi sulit atau terpuruk.

Seseorang yang resilien memiliki kecenderungan bahwa ia telah berdamai dengan emosi negatifnya sehingga ia merasa netral atau merasakan emosi positif meskipun berada dalam situasi stres. Emosi positif inilah yang membuat seseorang mampu bangkit dari situasi terpuruknya. Dampaknya, orang-orang dengan kemampuan resilien yang baik akan merasakan kesejahteraan dan kepuasan dalam hidup baik secara fisik, psikologi maupun spiritual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi dapat mencegah atau mengurangi tingkat keparahan kecemasan dan depresi saat seseorang berada dalam situasi penuh tekanan.

***

Resiliensi terdiri dari lima aspek yang menandakan seseorang memiliki kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan. Berikut ini adalah aspek-aspek resiliensi yang dijelaskan oleh Connor dan Davidson.

1. Kompetensi Personal, Standar yang Tinggi, dan Kegigihan

Saat berada dalam situasi sulit, seseorang yang resilien memiliki sikap optimis dan tidak putus asa dalam mencapai tujuan hidup yang telah direncanakan. Seseorang yang resilien juga senantiasa berusaha melakukan yang terbaik dalam menghadapi setiap tantangan dalam hidup.

2. Percaya terhadap Naluri, Toleransi terhadap Afek Negatif, dan Kuat Menghadapi Tekanan

Dalam situasi sulit, seseorang yang resilien memiliki keteguhan hati dan rasa percaya diri untuk mampu mengatasi tantangan hidup dengan kekuatan yang dimilikinya. Di sisi lain, resiliensi akan membantu seseorang untuk tenang, fokus, dan mampu membuat keputusan sulit saat berada di bawah tekanan.

3. Penerimaan Positif terhadap Perubahan dan Kemampuan Menjalin Hubungan yang Aman dengan Orang Lain

Seseorang yang memiliki resiliensi berusaha untuk menerima diri dan situasi hidup yang ada secara apa adanya. Hal ini membuat seseorang mudah menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang terjadi dalam hidup. Seseorang yang mudah menyesuaikan diri dengan perubahan akan mampu mengembangkan potensi positif dalam dirinya di berbagai situasi. Di sisi lain, seseorang yang resilien memiliki hubungan sosial yang hangat dengan orang-orang di sekitarnya. Ia juga tahu dengan pasti kapan waktu yang tepat untuk mencari pertolongan apabila dirasa ia tisak mampu mengatasi kesulitannya sendiri.

4. Kontrol diri

Seseorang yang resilien berusaha berpikir jernih dan mengatasi pikiran-pikiran buruk yang datang saat ditimpa kesulitan. Resiliensi yang dimiliki juga dapat membantu seseorang untuk pulih secara emosional dan tidak larut dalam suasana hati yang kelam. Selain itu, seseorang yang resilien berusaha bertindak secara hati-hati dalam situasi apa pun. Ia memastikan segala yang dilakukan dibawah kontrol dan kesadaran diri yang penuh.

5. Spiritualitas

Spiritualitas adalah aspek resiliensi yang berkaitan dengan nilai-nilai ketuhanan. Seseorang yang resilien berpegang teguh pada nilai-nilai spiritual, sehingga senantiasa meyakini bahwa Tuhan akan menyertai, menolong, dan memberikan yang terbaik bagi setiap makhluk-Nya. Dengan spiritualitas, seseorang juga akan menemukan makna dan pelajaran di balik pengalaman hidup yang pahit. Makna dan pelajaran ini adalah bekal yang menjadikan seseorang lebih tangguh dan kuat untuk menjalani setiap fase kehidupan.

***

Jika kegagalan, kesulitan, dan penderitaan adalah kepastian dalam hidup, maka kita perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi-situasi di luar kendali diri kita. Karena, satu-satunya yang bisa kita kendalikan secara utuh hanyalah diri kita sendiri. Oleh karena itu, kita perlu belajar untuk menjadi tangguh dan kuat. Belajar menjadi pribadi yang memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri, pulih secara emosional, dan tetap berkembang secara sehat saat menghadapi situasi sulit. Belajar untuk tetap menegakkan kepala, walaupun badai silih berganti menerpa.


Artikel ini adalah artikel sumbang tulisan dari Wahyu Wiratmoko. Saat ini Wahyu sedang belajar untuk “mendengar” dan “memahami”. Ia dapat dihubungi melalui e-mail: whywiratmoko@gmail.com 


Sumber gambar: www.unsplash.com

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

CURHAT: Mengapa Hingga Saat ini Saya Tidak Punya Hubungan Pertemanan yang Akrab dan Intim?

Next
Next

CURHAT: Saya Adalah Orang yang Sangat Membebani Orang Lain