Mengapa Kami Membenci Orangtua Kami Sendiri
Jika ditanya, siapa orang yang paling berjasa di hidup kita, yang terbayang pada sebagian orang adalah wajah kedua orangtua kita. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi kami. Siapapun yang ingin mengerti mengapa kami membenci orangtua kami, bahkan sampai menganggap mereka tidak pernah ada. Inilah alasan di balik kebencian kami terhadap orangtua kami.
Satu harapan terbesar adalah kami tidak ingin anak-anak kami di masa depan merasakan “kehilangan peran” orangtuanya sendiri padahal tubuh mereka masih ada.
Apa yang Selalu Kami Rasakan
Sejujurnya, kami ingin bisa terbuka seperti anak pada umumnya. Menceritakan apa yang dialami seharian itu, diberi pelukan dan kata-kata afirmasi untuk menyemangati kami, atau sekadar ditanyai kabar oleh orangtua kami. Namun, apa daya kami. Ada beberapa hal yang membuat orangtua kami terganggu perannya di rumah, seperti karena pekerjaan, jabatan, atau perselingkuhan. Oleh karena itulah hubungan kami dengan orangtua menjadi tidak kondusif.
Tubuh mereka memang ada, tetapi seringnya bentuk kasih sayang mereka fana.
Sejujurnya, bukan keinginan kami untuk membenci mereka yang telah menghidupi kami. Namun, seiring jiwa kami bertumbuh, mereka tidak melengkapi kami dengan kebutuhan emosional dan sosial. Materi yang mereka kejar tidak ada artinya dibandingkan dengan kehadiran mereka yang dapat menjadi motivasi. Padahal secara psikologis, hubungan antara anak dan orangtua yang positif membuat anak dapat menjalin hubungan interpersonal yang positif dan beradaptasi dengan baik di lingkungan sosial.
Di Balik Kebencian Kami pada Orangtua
“Kami Ingin Dibimbing, Bukan Dikontrol Penuh”
Semua kontrol ada pada orangtua. Mereka lupa apa yang disebut dengan privasi dan otonomi. Kami bagaikan remote yang kendalinya ada pada mereka. Mulai dari memilih sekolah, jurusan, pekerjaan, pergaulan, bahkan pasangan. Kami merasa tidak punya kuasa atas hidup kami sendiri. Awalnya kami bisa memahami bahwa mereka sangat ingin kami mendapatkan yang terbaik, tapi tidak dengan cara membandingkan kami dengan anak orang lain.
Sebuah penelitian di Amerika mengungkapkan bahwa orangtua yang terlalu melarang anaknya untuk mengeksplor diri dan lingkungan sekitar, seolah-olah memiliki persepsi bahwa anak dilahirkan lemah dan tidak bisa lepas dari intervensi orangtua.
Kita hanya korban dari kecemasan dan ketakutan ayah dan ibu saja sebenarnya. Padahal setiap manusia terlahir dengan keadaan murni, berani, tanpa hal-hal negatif.
“Kami Tidak Ingin Menjadi Pelampiasan Amarah Orangtua”
Jika suatu hari ibu marah pada ayah ataupun sebaliknya, kami ingin tidak dilibatkan dalam amarah. Kami masih dalam proses menginginkan perhatian dan kehangatan dalam keluarga. Bukan kata-kata kasar yang ingin kami dengar, bukan cara orangtua yang saling membentak yang ingin kami lihat. Namun, kami ingin belajar caranya berdamai dengan konflik di dalam keluarga.
Sebuah studi menunjukkan bahwa anak yang marah pada orangtuanya tidak hanya akan membahayakan hubungan antara anak dengan orangtua, tetapi juga memberi dampak pada hubungan romantis dan hubungan sosial sang anak dikemudian hari. Ditambah lagi dengan kekesalan orangtua yang ditunjukkan melalui hukuman fisik pada anak, berapapun usia anak saat diperlakukan demikian, akan mencetak pribadi anak yang agresif.
Semakin kami tidak lekat dengan orangtua karena kebencian yang tercipta dengan sendirinya, semakin kami akan kesulitan untuk mengendalikan emosi negatif yang akan terus ada di kehidupan kami mendatang.
“Kami Sedih Bila Terus Menerus Dibandingkan dengan Orang Lain”
Perbandingan diri tidak menjadikan setiap orang lebih baik, terkadang kami justru melihatnya sebagai sebuah tuntutan dan penolakan terhadap apa yang kami miliki saat ini. Bakat dan kecerdasan yang lahir dari darah orangtua kami sendiri.
Anak yang selalu dibanding-bandingkan dengan anak orang lain akan memiliki karakter self-doubt. Anak menjadi mudah ragu dengan kemampuannya, tidak yakin dengan keterampilannya, tidak percaya diri dengan bakatnya.
Sekolah Untuk Orangtua Berdurasi Seumur Hidup
Setiap orangtua memiliki keinginan yang belum terwujud dan ingin mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi, seringnya orangtua tertutup oleh ego dan ambisi sendiri sampai akhirnya keinginan yang belum terwujud tadi dilimpahkan ke anak-anak. Hasilnya, kami merasa didikte tanpa diberi celah kebebasan dan merasa “terjebak” dalam keinginan orangtua semata. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orangtua menyumbang dampak psikologis yang paling signifikan bagi perkembangan kesejahteraan dan kesehatan mental keluarga.
Bentuk dukungan emosional yang paling sederhana bisa dilakukan dengan cara mendengarkan, memberi perhatian, dan tidak ragu untuk menunjukkan kasih sayang. Sejatinya, kami cukup diberikan peta. Selebihnya, biarkan kami berjalan dengan cara masing-masing. Dengan demikian, kepercayaan diri kami akan terbangun dan hubungan sosial dengan lingkungan akan mudah terbentuk dengan positif.
“Tidak ada sekolah untuk menjadi orangtua, yang ada yaitu pengalaman hidup sejak kecil yang akan menuntun kita semua menjadi pribadi yang kelak pantas dinamai orangtua. Sebab menjadi orangtua membutuhkan waktu belajar seumur hidup.”
Bukan maksud kami membenci orangtua, tetapi kami merasa ada cara-cara dari orangtua yang membuat kami terkekang dan tidak bisa mengaktulisasikan diri. Sakit yang kami rasakan hingga kami pernah berpikir untuk tidak menganggap orangtua ada sebenarnya bukanlah sebuah bentuk penolakan kami terhadap kehadiran orangtua. Namun, kami tahu bahwa kelak kami akan dipanggil “ayah” atau “ibu” oleh anak-anak kami. Menjadi pusat perhatian anak-anak, memberi asupan pengetahuan untuknya, mengajarkan sopan santun, dan menanamkan cinta pada sesama.