Mengapa Kita Sering Melakukan Body Shaming?
Hari raya adalah hari yang dinantikan oleh sebagian besar orang karena hari tersebut merupakan hari berkumpulnya keluarga besar di kampung halaman. Namun, hari raya juga terkadang menjadi hari yang paling dihindari karena beberapa perilaku sahabat atau keluarga yang seringnya menyakitkan hati. Misalnya, perilaku bullying dan body shaming.
***
Istilah bullying dan body shaming kini menjadi isu populer di masyarakat kita. Budaya dan kebiasaan tersebut banyak terjadi di hampir keseharian kita, termasuk memberikan komentar berupa hal-hal yang menjurus pada body shaming atau penghinaan fisik. Apalagi di era digital saat ini, perilaku tersebut banyak kita temukan di dunia maya seperti media sosial. Kebiasaan tersebut nampaknya sangat mudah dilakukan oleh manusia sekarang ini, karena kebebasan dan ketersediaan ruang-ruang publik yang sangat masif.
Seringkali kita mendengar atau menemukan komentar-komentar berupa kata-kata yang menjurus ke body shaming.
“Kok badan kamu makin gemuk, sih. Makanya, diet dong.”
“Ih, kok kulit kamu jadi tambah hitam gini sih. Cepet-cepet lulur gih, atau suntik putih sekalian!”
“Hei, rambutmu kok mengembang banget sih, mirip singa!”
Komentar-komentar serupa seperti hal yang lumrah untuk diberikan pada orang lain. Namun, sadarkah dampak dari body shaming tersebut? Sadarkah ada sejumlah hati yang tersakiti oleh komentar kita yang menyudutkan itu? Baik itu disengaja ataupun tidak, body shaming tidak seharusnya menjadi hal yang biasa, wajar dan lumrah hanya untuk sekadar berbasa-basi.
Apa itu Body Shaming?
Body shaming menurut kamus Oxford adalah perilaku mempermalukan seseorang dengan menghina atau membuat komentar negatif mengenai bentuk atau ukuran tubuh seseorang. Body shaming dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk bullying yang banyak terjadi di lingkungan kita. Perbedaan keduanya adalah jika body shaming hanya spesifik ditujukan pada bentuk dan ukuran tubuh, sedangkan bullying mencakup hal yang lebih besar dan didefinisikan sebagai bentuk agresi kepada orang lain baik secara fisik maupun verbal.
Body shaming identik dengan perilaku menghina yang lebih ditujukan pada orang berbadan gemuk atau plus size, atau biasa disebut sebagai fat shaming. Namun, perilaku body shaming tidak melulu ditujukan pada orang berbadan gemuk saja. Orang dengan ukuran badan yang kecil pun seringkali mendapat perlakuan body shaming. Body shaming lebih sering ditujukan pada perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan apabila perilaku tersebut juga terjadi pada laki-laki. Body shaming biasanya dilakukan oleh teman-teman dekat atau bahkan keluarga. Mereka yang biasanya melakukan body shaming biasanya melakukannya dalam keadaan sadar dan dengan berbagai alasan seperti bahan untuk berbasa-basi, melindungi harga diri bahkan untuk menjatuhkan orang lain.
Penyebab Fenomena Body Shaming
Ada banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya bullying dan body shaming. Kedua fenomena tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan Social Learning Theory Albert Bandura. Menurut teori Bandura, sebuah perilaku muncul karena hasil dari observasi serta tindakan meniru orang lain di lingkungan sekitar. Apabila seorang individu sering menyaksikan atau membaca komentar-komentar yang mengarah ke tindakan body shaming sejak dini, maka besar kemungkinan individu tersebut melakukan tindakan body shaming terhadap orang lain pada masa depan. Dr. Devie Rahmawati, seorang pengamat sosial sekaligus Ketua Program Studi Vokasi Komunikasi UI, mengatakan bahwa salah satu penyebab body shaming di Indonesia adalah warisan pemikiran akibat post-kolonialisme. Pemikiran dan anggapan sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa deskripsi “cantik” atau “tampan” adalah individu dengan kulit putih, hidung mancung, tubuh langsing, tinggi semampai dan sebagainya. Maka dari itu, apabila ada seseorang yang tidak memenuhi deskripsi tersebut, ia tidak bisa dikategorikan sebagai “cantik” atau “tampan sehingga termasuk dalam kategori “jelek”, “kurus”, “gemuk” atau panggilan negatif lainnya.
“Penyebab munculnya body shaming adalah pikiran atau pandangan tradisional akibat post-kolonialisme yang memberi standar kecantikan dengan bentuk tubuh ideal, berkulit putih, hingga tubuh yang tinggi.”
Dampak Body Shaming
Standar kecantikan tradisional dan fenomena body shaming berpotensi membuat seseorang melakukan self-objectification. Self-objectification adalah keadaan dimana seseorang memandang dirinya sebagai sebuah objek atau menilai diri sendiri berdasarkan penampilan. Kecenderungan untuk melakukan self-objectification ini dapat menimbulkan perasaan malu atas diri sendiri (shame) atau kecemasan (anxiety) terhadap bentuk atau ukuran tubuh. Orang-orang yang tidak dapat menerima perlakuan body shaming akan cenderung merasa ada yang salah dalam dirinya. Atau merasa tidak kompeten untuk melakukan sesuatu karena rendahnya kepercayaan terhadap diri sendiri. Pada perempuan, dampak body shaming bisa sangat terlihat. Perempuan yang cenderung memperhatikan penampilan fisiknya, seringkali bukan karena keinginan dari dalam diri, melainkan untuk menghindari komentar negatif yang kemungkinan akan ditujukan pada dirinya (McKinley & Hyde, 1996).
Dampak lain dari self-objectification adalah menurunnya aspek psikologis dalam diri seseorang, salah satunya terkait dengan kepercayaan diri. Seseorang yang mendapatkan perlakuan body shaming bisa jadi mengalami penurunan motivasi untuk melakukan sesuatu. Akibatnya, ia akan merasa tidak berharga yang selanjutnya apabila hal itu berlangsung terus-menerus akan berujung pada perasaan putus asa. Tidak jarang, rasa putus asa ini memunculkan pemikiran bunuh diri pada seseorang (suicidal thought).
Baca juga: Thor Buncit dan Kebiasaan Body Shaming di sini.
Hal-hal yang Bisa Dilakukan untuk Menghindari Perilaku Body Shaming
Perilaku body shaming tidak akan terjadi apabila seseorang mulai kembali mendalami dirinya dan mencintai diri sendiri apa adanya (self-love). Self-love sangat penting bagi kesehatan fisik dan mental kita, karena dengan menerima segala kelebihan dan kekurangan kita apa adanya, kita menjadi lebih bisa berpikir positif terhadap diri kita sendiri dan orang lain. Dengan mencintai diri sendiri maka kita akan cenderung yakin dan percaya terhadap kemampuan diri. Hal itu bisa berdampak pada aspek psikologis diri terutama kenyamanan, kedamaian, kepercayaan kita terhadap diri sendiri.
Selanjutnya, apabila kita mendapatkan komentar yang terkait body shaming, maka kita bisa menjadikan komentar tersebut sebagai motivasi dan introspeksi diri. Apabila berat, kita juga mempunya pilihan untuk mengabaikan komentar yang menjurus pada body shaming. Kita perlu menyeleksi mana yang perlu diperhatikan dan mana yang tidak. Mana yang bisa kita jadikan sebagai evaluasi diri dan mana yang tidak.
Satu hal yang perlu diingat bahwa manusia diciptakan berikut dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bukan tugas kita dan bukan tugas mereka untuk menentukan mana “kelebihan” dan mana “kekurangan” tersebut. Karena anggapan kita belum tentu benar dan anggapan orang lain terhadap kita pun belum tentu benar. Bukan tugas kita dan bukan tugas mereka bahwa gemuk adalah kekurangan dan langsing adalah kelebihan dan idaman. Selain itu, kita juga perlu untuk membuka pandangan dan pemikiran baru terkait standar kecantikan. Cantik bisa beragam bentuknya, tergantung masing-masing orang, sehingga cantik bukan sesuatu yang baku dengan tubuh langsing, kulit putih dan hidung mancung. Namun, cantik lebih dari itu dan bersifatnya personal.
***
Body shaming adalah perilaku mengomentari atau menghina terkait bentuk dan ukuran tubuh seseorang, yang bisa berdampak pada aspek psikologisnya. Maka dari itu, sudah saatnya bagi kita semua untuk mengakhiri kebiasaan body shaming. Satu hal yang bisa kita lakukan untuk menghentikan body shaming adalah dengan mulai mencintai diri sendiri (self-love). Dengan mencintai diri sendiri kita pelan-pelan juga akan mencintai makhluk lain di muka bumi dengan besaran cinta yang sama seperti yang kita berikan pada diri kita.
Baca juga: Body-Shaming dan Cara Mengatasinya di sini.
Sudah saatnya untuk tidak menganggap body shaming sebagai perilaku yang remeh, lumrah dan wajar karena baik sadar atau tidak perilaku tersebut bisa menyakiti hati setiap manusia.
Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Nathania Angelica Marsha, Cristalia Nuur Annisa, Nabilla Ayu Mutiara, Fathimah Assayyidah, Amorita Christella Anggamsari. Mereka adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.