Mengapa Pasanganku Abusive?

Abusive relationship did happen around us, maybe to yourself or your close relation.

Setiap manusia berkeinginan untuk memiliki pasangan dalam hidupnya. Keinginan tersebut seolah menjadi nyata ketika kita berhasil menjalani hubungan dengan orang yang kita suka. Namun, perlu diketahui tidak ada hubungan yang sempurna. Suatu hubungan juga memiliki risiko untuk merasakan sakit maupun kecewa, secara sadar ataupun tidak.

Perilaku abusive (kekerasan) yang muncul sebagai bentuk perlawanan dari luka yang ada akan menjadi persoalan yang meresahkan. Abuse dilihat sebagai ungkapan dari kekuatan sosial dan menjadi cara bagi lelaki untuk mengatur dan mendominasi perempuan sebagai pasangannya. Dominasi lelaki terhadap perempuan bisa menjadi sedemikian agresif ketika perempuan terlihat tidak berdaya. Akan tetapi, tidak berarti korban abusive relationship selalu perempuan. Laki-laki juga pernah dan berisiko menjadi korban dalam hubungan yang dijalaninya.

Abusive relationship tidak melulu berkaitan dengan fisik, seperti dipukul atau ditampar. Abusive relationship terjadi dalam keberagaman meliputi verbal, seksual, emosional dan finansial.

Verbal abuse terjadi ketika pasangan mengkritisi nilai serta kepercayaan yang kita punya, merendahkan penampilan kita, atau mempermalukan diri kita di hadapan orang lain. Sexual abuse terjadi ketika melakukan penganiyaan secara seksual atau pemaksaan melakukan hubungan seksual. Sementara itu, emotional abuse adalah bentuk kekerasan secara nonfisik, dengan perilaku yang ditunjukkan berupa mengontrol, menghukum, menaklukan, atau mengasingkan orang lain dengan memanfaatkan ketakutan dan penghinaan pada orang tersebut. Kemudian, financial abuse terjadi ketika pasangan memegang kuasa penuh atas keuangan yang kita miliki, membatasi kita untuk mengeluarkan uang, serta memantau setiap pengeluaran yang kita lakukan.

Alasan di Balik Perilaku Abusive

Terlepas dari penilaian buruk terhadap seorang abuser, ada beberapa hal yang perlu kita pahami tentang mereka. Beberapa hal yang melatarbelakangi mereka untuk menjadi seorang abuser terhadap pasangannya. Hal-hal tersebut antara lain:

Sulit Menoleransi Luka

Apabila sejak kecil kita tidak pernah belajar untuk menghadapi perasaan negatif seperti, kecewa, sakit dan kecewa maka kita akan mengalami kebingungan saat dewasa kelak. Kebingungan yang kita rasakan ini membuat diri menjadi sulit untuk menoleransi luka yang terjadi di kehidupan kita.

Terlebih lagi, para lelaki cenderung diajarkan untuk tidak menunjukkan perasaannya di depan orang lain. Lelaki seolah didoktrin dengan pernyataan seperti, “jangan menangis”, “jangan terlihat takut, sedih, atau cemas di hadapan orang lain.” Karena tidak diperbolehkan untuk menunjukkan perasaannya, lelaki mempelajari bahwa harus melawan kembali ketika ada yang menyakiti atau mempermalukan dirinya.

Dengan demikian, kita melihat bahwa kemampuan menoleransi luka tanpa harus menghukum pasangan kita merupakan hal penting yang harus dimiliki. Kemampuan penting karena kita tidak bisa mengelak bahwa ada saatnya pasangan kita menyakiti atau mengecewakan kita. Pentingnya menoleransi luka juga memberikan pemahaman bahwa abuser bukan berarti bermasalah dalam pengelolaan amarahnya tetapi lebih kepada kemampuan menoleransi masalah.

“Aku Berhak Menyakitimu”

Muncul pikiran bahwa, “Aku berhak menyakitimu karena kamu milikku.” Pikiran seperti itu menggambarkan ada cara mencintai yang salah. Seolah-olah apabila terjalin dalam sebuah hubungan, maka kita bebas mengatur dan melakukan apapun terhadap pasangan kita.

Sebagai contoh, pasanganmu marah karena kamu telah pergi bersama teman laki-lakimu. Padahal, pasanganmu mengetahui dan membolehkan kamu pergi. Pada akhirnya, pasanganmu membalas perbuatanmu dengan mendekati perempuan lain tanpa sepengetahuanmu. Pasanganmu berdalih, “Biar kamu juga merasakan bagaimana sakitnya aku saat kamu malah pergi sama teman lelakimu.”

“Putting Ourselves in Other People’s Shoes”

Kita sering mendengar pernyataan, “putting ourselves in other people’s shoes” sebagai pesan untuk berempati pada orang lain. Bagi orang yang abusive, mereka memang membayangkan ketika posisinya ada di posisi pasangannya, tetapi tidak melakukannya dengan kemurahan hati. Hal ini pun mendorong pada kesalahpahaman dalam menilai perilaku pasangan kita.

Sebagai contoh, kita merasa takut karena pasangan kita yang pemarah. Akhirnya, kita memutuskan untuk mengambil jarak sejenak dan tidak berbicara dengan pasangan kita. Ternyata, pasangan kita malah menilai sikap kita tersebut sebagai sikap yang dingin dan mengabaikan dirinya. Pasangan kita pun menjadi terluka dan menyikapinya dengan berperilaku kasar kepada kita.

Kurang Mampu untuk Bertanggung Jawab

Abusive dapat terjadi ketika ada yang memperbolehkan dan membenarkan perilaku itu terjadi. Seakan-akan perilaku kita untuk menyakiti orang lain karena sudah merasa tersakiti adalah hal yang biasa. Hal ini menunjukkan kita jadi tidak mampu untuk menelaah apa yang salah ketika terjadi dalam hubungan kita. Kita seperti tidak mampu untuk bertanggungjawab secara bijak atas perilaku kita dan langsung menyimpulkan bahwa menyelesaikannya dengan kekerasan adalah hal yang normal.

Sebagai tambahan, seseorang juga mampu berperilaku abusive karena mereka memiliki kemampuan dan kesempatan untuk melakukan itu semua.

Trauma yang Belum Terselesaikan

Kebanyakan pasangan yang abusive memiliki riwayat yang abusive juga di masa kecil. Sebagai contoh, pernah menyaksikan perilaku abusive atau menjadi korban dari perilaku abusive itu sendiri. Pengalaman tersebut pun menyebabkan trauma bagi seseorang namun tidak semuanya telah menyelesaikan trauma yang terjadi dalam hidupnya. Riwayat traumatis yang belum terselesaikan menyebabkan mereka mudah terpancing ketika mereka berhadapan dengan peristiwa yang menyakiti atau melukai mereka.

Saatnya Terlibat

Risiko hadirnya abusive relationship sepertinya akan terus menghantui kehidupan kita. Saat kita terjebak dalam abusive relationship,

akan menjadi tantangan untuk berani menyadari dan mengakui. Dengan lebih cepat menyadari, kita dapat meminta bantuan dengan segera terhadap orang terdekat atau profesional. Sebagai tambahan, bukan suatu hal yang mudah bagi mereka untuk terbuka dan oleh karena itu patut kita apresiasi atas keberanian mereka.

Di sisi lain, kita harus lebih menyadari akan potensi berkembangnya perilaku abuse dalam diri seseorang. Hal ini bisa dimulai dengan menyelesaikan trauma yang pernah dialami di masa kecil atau mulai mengajarkan diri untuk menyikapi rasa sakit yang didapat dari sebuah hubungan secara bijakasana.

Zahrah Nabila

a psychology student who is still learning and should treat herself first, before treat others

Previous
Previous

13 Tanda Kamu Berada Di Hubungan Abusive

Next
Next

CURHAT: Saya Merasa Rendah Diri dan Tidak Ada yang Menyayangi