Pandemi dan Sepi
Pandemi Covid-19 menjadi titik perubahan di banyak aspek kehidupan manusia. Tidak hanya aspek kesehatan, tetapi juga pada kesehatan mental. Di Indonesia sendiri, Kementerian Kesehatan menyebutkan kasus depresi selama pandemi meningkat 6,5%. Ahli meyakini bahwa kondisi ini bersumber dari isolasi sosial dan perasaan kesepian.
Perasaan terisolasi atau kesepian sebenarnya bukan fenomena yang baru. Hal ini sudah menjadi fokus pemerintah di beberapa negara seperti Jepang dan Inggris. Dua negara tersebut sudah mantap menganggap kesepian sebagai public health concern dalam negara mereka.
Beberapa media besar seperti Times dan New York Times juga menyebutkan kesepian sebagai epidemi di negara-negara besar seperti Amerika dan Inggris.
Pada tahun 2018, Pemerintah Inggris menunjuk menteri khusus menangani kesepian. Langkah yang belum umum namun tidaklah mengherankan apabila kita menilik berbagai penelitian mengenai dampak kesepian.
Kesepian memiliki dampak yang amat buruk terhadap kualitas fisik dan mental seseorang. Kesepian disebut memperparah gangguan mental dan penyakit kardiovaskular. Bahkan kesepian kronis dikatakan lebih berbahaya dari obesitas dan kebiasaan merokok 15 batang sehari. Wajar jika kesepian menjadi hal yang urgen untuk diselesaikan, terutama dengan angkanya yang terus bertambah di masa pandemi Covid-19.
Buku Sepi: Mengapa manusia merasakan sepi dan bagaimana berdamai dengannya? secara mendalam membahas tentang sepi yang berpotensi sebagai pandemi yang baru. Meski belum ditetapkan secara baku sebagai “pandemi kesepian”, hal ini nyata akan terjadi bila kesepian tidak ditangani dengan baik. Kamu akan menemukan pentingnya menaruh perhatian khusus terhadap sepi dan memperluas sudut pandangmu dalam melihat sepi melalui buku ini.
Temukan Buku Sepi: Mengapa manusia merasakan sepi dan bagaimana berdamai dengannya secara luring di Toko Buku Gramedia / Toko Buku Kesayangan terdekat atau secara daring melalui link berikut ini.