(Sialnya) Depresi itu Kambuhan
Bagi kamu yang sudah mengalami episode depresi lebih dari sekali tentu paham – dan mungkin sangat takut dengan kata relapse. Gangguan depresi bukanlah penyakit yang datang sekali lalu pergi. Ia bersemayam dalam badan kita, bersembunyi dalam jiwa kita dan menggerogoti kewarasan kita perlahan-lahan. Hingga kita tak mampu lagi mengendalikan pikiran dan emosi kita, serta terjebak pada lubang hitam yang sama.
Istilah ilmiah dari episode depresi klinis disebut dengan major depression episode (episode depresi mayor). Untuk seseorang bisa didiagnosis dengan depresi setidaknya dia mengalami gejala-gejala depresi selama 2 minggu. Gejala tersebut dapat bertahan hingga 6 bulan – 2 tahun atau bahkan lebih- lamanya. Seseorang yang pernah mengalami episode depresi memiliki kerentanan untuk mengalaminya lagi di kemudian hari.
Apa itu Relapse?
Relapse adalah kembalinya gejala-gejala utama depresi ketika seseorang sudah hampir pulih dari episode depresi.
Gejala relapse kurang lebih sama dengan gejala depresi seperti yang sudah dijabarkan di artikel sebelumnya. Hanya saja, seseorang yang pernah depresi biasanya dipenuhi rasa takut dan khawatir karena akan berhadapan dengan depresinya lagi. Tidak sedikit juga yang denial atau enggan mengakui bahwa dirinya depresi lagi.
Proses relapse memakan waktu lama dari mingguan hingga tahunan. Orang-orang yang memiliki kekhawatiran biasanya sudah tersiksa cukup lama dengan perasaan “takut akan depresi” sebelum benar-benar depresi lagi. Sedangkan orang-orang yang denial akan tersiksa lama, sebelum pada akhirnya bisa menerima bahwa ia depresi lagi. Proses relapse menjadi sangat menakutkan karena kita sudah pernah tahu bagaimana gelapnya depresi.
Mengapa Relapse?
Depresi menjadi kambuhan karena biasanya seseorang belum sembuh secara holistik. Bisa saja seseorang merasa episode depresinya sudah selesai karena ia sudah tidak lagi menangis jam 3 malam dan sudah bisa tidur nyenyak. Hanya saja, tanpa disadari, masih ada beban emosi yang tersisa di dalam hatinya. Terkadang juga, orang-orang dengan depresi tidak ingin membuat sahabat dan keluarga khawatir hingga ia berpura-pura baik-baik saja dan telah selesai depresinya. Residu beban emosi seperti inilah yang meningkatkan kerentanan depresi kambuh lagi dan lagi.
Depresi adalah penyakit yang berasal dari ketidakseimbangan bio-psiko-sosial-spiritual. Dibutuhkan penyembuhan dari berbagai aspek untuk memastikan depresi tidak kambuh lagi. Bisa jadi secara kognitif seseorang sudah sadar bahwa tidak ada yang perlu disedihkan namun, emosinya masih banyak menyimpan luka. Bisa jadi kognitif dan emosinya sudah baik-baik saja tapi, lingkungan sosialnya masih sangat menekan dia dengan segala ekspektasi. Akibatnya, seseorang rentan kembali mengalami depresi.
Depresi Selayaknya Asma
Kambuhnya depresi bisa dibayangkan seperti seseorang yang memliki asma. Perbedaannya, jika asma, kambuh terjadi beberapa menit. Sementara itu, depresi sekali kambuh bisa cukup lama hingga berminggu-minggu atau bulan, atau tahun.
Saya tidak bermaksud membandingkan depresi dan asma. Saya tidak menyepelekan asma, sama sekali tidak. Faktanya seorang teman saya di organisasi pernah meninggal akibat terserang asma saat tak ada siapapun di rumahnya. Akan tetapi, saya ingin mengajak pembaca untuk memahami bahwa orang-orang yang memiliki depresi juga sudah cukup lelah dengan kekacauan emosi yang mereka miliki. Sama seperti asma yang berpotensi menghilangkan nyawa seseorang, depresi juga sangat berpotensi menghilangkan nyawa seseorang melalui percobaan bunuh diri.
Mari Amati Diri Kita
Proses recovery atau penyembuhan dari depresi dan mental illness lain adalah proses yang unik. Ada sebagian orang yang dapat sembuh total dalam waktu instan namun, tidak sedikit juga yang membutuhkan waktu berbulan-bulan. Di tengah proses penyembuhan, kadang kita bisa terjatuh lagi dan mengalami full blown depression.
Kuncinya terletak pada penerimaan kita. Karena hanya dengan menerima pada akhirnya kita sanggup melepaskan. Jika kita masih harus belajar sekali lagi dari depresi, maka kita perlu menerimanya. Siapa tahu ada pembelajaran hidup yang dipetik dari episode depresi kita yang berikutnya. Tak lupa, kita juga harus tetap mencari bantuan professional dan menemukan titik keseimbangan kita.