Abusive Relationship: Mengapa Perempuan Memilih Bertahan?

Sejumlah 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2016. Dari jumlah tersebut, 5.784 kasus dalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan 2.171 adalah kekerasan dalam pacaran. Mayoritas dari korban kekerasan dalam hubungan adalah pihak perempuan. Pertanyannya, mengapa mereka bertahan?

Kemungkinan-kemungkinan

Sejumlah studi di bidang psikologi telah berusaha untuk mencari tahu alasan yang sesungguhnya menyebabkan seorang perempuan tetap bertahan dalam abusive relationship. Studi-studi ini menemukan ada berbagai faktor yang menghalangi seorang perempuan keluar dari abusive relationship. Dengan memahami hasil studi tersebut, perempuan tidak lagi bisa dipersalahkan karena memutuskan untuk tetap bertahan.

Kebanyakan perempuan yang berada dalam abusive relationship mengalami defisit motivasi kognitif yang menghalangi mereka untuk mencari bantuan atau informasi, serta mengakibatkan mereka kehilangan kontrol atas diri dan memercayai bahwa tidak ada satu hal pun yang dapat mereka lakukan untuk keluar dari abusive relationship. Beberapa perempuan bahkan merasa bahwa diri mereka memang bersalah dan pantas mendapatkan perlakuan kasar dari pasangannya. Sebagian lagi menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh pasangan mereka bukanlah merupakan kekerasan. Mereka menganggap – contohnya – perkataan kasar yang dilontarkan oleh pasangannya tidak dapat dikategorikan sebagai perlakuan kasar melainkan hanya representasi dari kepribadian mereka yang tegas.

Lebih dalam, sebagian besar dari perempuan-perempuan tersebut menganggap pasangan mereka sebagai “the love of my life”. Rasa cinta yang signifikan terhadap pasangannya membuat perempuan-perempuan tersebut lebih memilih bertahan dalam abusive relationship. Rasa cinta yang mendalam juga dapat menimbulkan ketakutan dalam diri seorang perempuan meninggalkan pasangannya yang abusive. Mereka merasa takut tidak dapat menemukan cinta sejati dalam hidup mereka lagi.

“Seorang perempuan tanpa cinta tidak memiliki eksistensi”

Simone de Beauvoir

The Woman In Love

Secara kontroversial, Simone de Beauvoir, seorang feminis asal Prancis, menyatakan bahwa seorang perempuan tanpa cinta tidak memiliki eksistensi. Eksistensinya bergantung dan melekat pada cinta yang dimilikinya kepada laki-laki. Perempuan membutuhkan seorang laki-laki yang mencintainya sehingga laki-laki tersebut dapat menarik perempuan itu ke dalam eksistensinya dan menghadirkan eksistensi bagi perempuan. Simone juga mengutip Cecile Sauvage, seorang penyair Prancis, yang menulis bahwa ketika jatuh cinta, seorang perempuan harus melupakan kepribadiannya sendiri. Perempuan tidak memiliki eksistensi tanpa tuannya (laki-laki). Tanpa seorang tuan, perempuan hanya menjadi bunga yang berserakan.

Pada titik ini kemudian dapat dipahami bahwa kata cinta menjadi kunci bagi seorang perempuan memilih untuk bertahan dalam sebuah relasi romantis, bahkan abusive. Cinta, khususnya bagi seorang perempuan, maknanya tidak berhenti hanya sebagai kata yang menjadi ekspresi terdalam rasa suka, melainkan lebih dalam sebagai devosi seluruh tubuh dan jiwa terhadap pasangan yang dicintainya. Cinta bagi seorang perempuan menjadi keseluruhan hidup yang menyusun eksistensinya di dunia. Tanpa cinta, perempuan kehilangan seluruh makna dari seluruh hal yang dihidupinya. Cinta bukan menjadi hal yang remeh dalam batas definisi cinta yang kita dapatkan melalui tayangan-tayangan roman picisan. Cinta menjadi hakikat yang memenuhi eksistensi perempuan.

Makna cinta yang begitu dalam tersebut sesungguhnya menjadi penjelasan yang cukup untuk memahami mengapa banyak perempuan memilih untuk bertahan dalam abusive relationship. Mereka telah menyerahkan seluruh tubuh dan jiwanya sebagai sebuah devosi kepada pasangannya. Melalui cinta tersebut para perempuan menemukan eksistensinya yang penuh, yang mengadakan dirinya secara utuh. Nikmat cinta yang mendalam membuat perempuan-perempuan ini seakan-akan tak lagi memiliki pilihan untuk keluar dari abusive relationship.

Evaluasi lebih lanjut yang perlu dilakukan kemudian adalah merefleksikan lagi devosi yang diberikan oleh seorang perempuan terhadap “cinta sejati”-nya. Devosi atas nama cinta tersebut perlu ditelisik ulang apakah benar-benar pantas diwujudkan dalam sebuah relasi romantis yang tidak berimbang. Apakah pemenuhan eksistensi melalui cinta memerlukan tindak kekerasan yang merusak? Apakah penyerahan tubuh dan jiwa membutuhkan pengorbanan yang menyiksa?

Devosi atas nama cinta tidak seharusnya mengakibatkan hilangnya inti diri dan memasrahkan diri pada ketidakterarahan cinta. Cinta sejati seharusnya mendevosikan seluruh tubuh dan jiwa bukan kepada kehilangan, melainkan kepada pemenuhan diri secara utuh.  Pada titik ini kemudian yang berperan adalah subjektivitas cinta itu sendiri. Perempuan-perempuan dalam abusive relationship perlu merefleksikan apakah pasangan mereka yang abusive benar-benar hadir sebagai pemenuhan eksistensi mereka atau sekadar pemuasan objek cinta yang dipenuhi nafsu belaka.


Sumber

Beauvoir, S. D. (1949). Le deuxieme sexe. Diterjemahkan oleh Borde, C. & Chevallier, S. M. (2010). The second sex. New York: Vintage Book.

Estrellado, A. F. & Loh, J. (2016). To stay in or leave an abusive relationship: losses and gains experienced by battered Filipino women. Journal of Interpersonal Violence, 1-21. DOI: 10.1177/0886260516657912

Idhom, A. M. (Maret 2017). Terdapat 259.150 kasus kekerasan ke perempuan selama 2016. Diunduh dari https://tirto.id/terdapat-259150-kasus-kekerasan-ke-perempuan-selama-2016-ckkh pada tanggal 20 Maret 2018 (19.44 WIB)

Patzel, B. (2006). What blocked heterosexual women and lesbians in leaving their abusive relationships. J Am Psychiatr Nurses Assoc, 12(4), 208-215. DOI: 10.1177/1078390306294897

Hugo Hardianto

Mahasiswa Filsafat UGM. Sedang mendalami seni kopi di kafe Gen Ngopi

Previous
Previous

CURHAT: Saya Merasa Selalu Direndahkan Keluarga dan Insecure dengan Teman-Teman

Next
Next

Mindful Listening: Mendengarkan Penuh Perhatian