Apakah LGBT Menular?
Stigma negatif terhadap komunitas lesbian gay biseksual transgender (LGBT) di Indonesia semakin memanas akhir-akhir ini. Masyarakat menganggap LGBT sebagai penyakit, gangguan mental, gangguan biologis, gangguan seksual, dan seterusnya. Anggapan LGBT sebagai penyakit dan gangguan lainnya kemudian memicu terbentuknya opini publik bahwa LGBT dapat menular. Apakah asumsi tersebut benar?
LGBT, dari ‘Penyakit’ hingga ‘Orientasi Seksual’
Pada tahun 1948, World Health Organisation (WHO) dalam International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem (ICD-6) mengklasifikasikan homoseksual sebagai penyimpangan/gangguan seksual yang diduga mencerminkan gangguan mental sebagai alasan yang mendasarinya. Pandangan bahwa homoseksualitas sebagai penyakit dimunculkan pertama kali oleh Sigmund Freud yang menyatakan bahwa homoseksualitas terjadi karena seseorang tumbuh di keluarga yang penuh konflik dan abnormal.
Ketika beragam budaya di dunia menganggap LGBT dan ekspresi gender lainnya sebagai bagian dari masyarakat, dunia barat menyatakan bahwa LGBT merupakan penyakit. Berbagai terapi diujicobakan di dunia barat untuk menyembuhkan homoseksuaitas, salah satunya dengan terapi aversi. Terapi-terapi yang lain, diantaranya terapi reorientasi/reparatif/konversi, hormonal treatment, psikoterapi, hingga terapi agama melalui ibadah atau pendekatan diri dengan Tuhan telah dilakukan selama lebih dari 100 tahun untuk ‘mengubah’ orientasi seksual seseorang menjadi ‘normal’. Namun, terapi-terapi tersebut dinilai tidak efektif karena beberapa terapi dinilai terlalu membahayakan, tanpa landasan ilmiah dan tidak etis. Ditambah lagi, beberapa orang yang melakukan terapi ini menyatakan bahwa mereka mengalami gangguan secara psikis setelah melakukan terapi. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami depresi, kecemasan, hingga malah bunuh diri.
Karena tidak ada terapi yang mampu mengubah orientai seksual seseorang, pada 1973 Asosiasi Psikiater Amerika tidak lagi mencantumkan homoseksual sebagai gangguan mental dengan dikeluarkannya homoseksual dari daftar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM). Pada tahun 1990, WHO tidak lagi mendiagnosa homoseksual sebagai gangguan seksual/gangguan mental. Tepatnya berdasarkan ICD-10, WHO menghapus diagnosa homoseksual dari klasifikasi penyakit dan lebih dianggap sebagai jenis orientasi seksual. Bahkan dalam ICD-10 ini secara eksplisit juga menyatakan bahwa orientasi seksual tidak dianggap sebagai suatu gangguan. Atas pandangan tersebut, maka dapat dipahami bersama bahwa LGBT tidak masuk dalam klasifikasi penyakit dan juga bukan sesuatu yang bisa menular atau ditularkan.
Sejak tahun 1990-an penelitian mengenai homoseksual pada LGBT telah sampai pada hipotesa adanya gen pada kromosom Xq28 yang mempengaruhi homoseksualitas. Namun, perdebatan akan penemuan tersebut masih terjadi hingga sekarang. Penelitian yang dilakukan oleh University of Ottawa pada tahun 2010 menyatakan bahwa tidak ada gen tunggal bertanggung jawab atas homoseksualitas. Sebaliknya, homoseksualitas kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa gen selain pada kromosom Xq28. Selain pengaruh genetik, pengaruh hormon, lingkungan dan mekanisme epigenetik juga dapat menjadi landasan orientasi seksual pada LGBT. Berbeda dengan down syndrome, misalnya, yang dipengaruhi secara tunggal oleh kromosom ke 21, homoseksual dipengaruhi oleh interaksi antara beberapa gen dan juga hormon.
LGBT di Indonesia
Di Indonesia, pedoman yang digunakan adalah Pedoman Penggolongan Penyakit dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) versi III yang diterbitkan oleh Kemenkes pada tahun 1993. LGBT dicantumkan dalam PPDGJ-III sebagai orientasi seksual tapi bukan gangguan. Orientasi seksual dianggap menjadi gangguan ketika muncul ketidaknyamanan psikologis yang dialami oleh seseorang atas orientasinya.
Anggapan LGBT ‘menular’ di Indonesia diduga berasal dari penilaian beberapa orang yang bergaul dengan LGBT kemudian mereka menjadi bagian dari LGBT. Ada beberapa asumsi yang dapat digunakan untuk menjelaskan ini. Asumsi yang pertama adalah terkait konformitas di mana seseorang akan mengikuti perilaku kelompok atau teman bermainnya. Maka dari itu banyak yang khawatir bahwa LGBT dapat menular. Asumsi yang kedua adalah bahwa ‘penularan’ itu sebenarnya hanya terjadi kepada LGBT yang berpura-pura sebagai straight atau heteroseksual. Orang-orang seperti ini dinamakan gay in the closet (atau gay yang menutupi identitas dirinya) atau juga bisa jadi biseksual (orang yang tertarik kepada perempuan dan laki-laki baik secara romantis ataupun seksual) yang berpura-pura straight. Hal ini terjadi karena mereka yang berpura-pura straight sebelumnya merasa takut untuk menjadi dirinya karena stigma masyrakat, kemudian merasa nyaman dan akhirnya berani menjadi dirinya saat mereka berada di komunitas yang lebih terbuka.
Penerimaan LGBT di Indonesia sangatlah rendah yaitu sebanyak 3% saja, sedangkan 93% lainnya menolak LGBT. LGBT memang menjadi isu sensitif yang banyak mengundang pro-kontra. LGBT sebagai bagian dari orientasi seksual perlu kita pandang dari berbagai kacamata yang berbeda. Berdasarkan panduan diagnosis yang digunakan oleh para profesional di bidang kesehatan, orientasi seksual bukan merupakan suatu jenis gangguan. Demikian halnya dengan orang-orang LGBT, ada baiknya dipandang sebagai manusia dengan orientasi seksual yang sedikit berbeda dibandingkan dengan kita pada umumnya. Namun, bukan berarti orang-orang LGBT tidak memiliki hak asasi manusia. Mereka juga seorang manusia yang patut untuk dilindungi hak asasinya.
LGBT memang merupakan isu yang masih sangat sensitif di Indonesia. Agaknya kedua belah pihak perlu lebih bijak dalam memaknai isu ini. Sesuai dengan apa yang dikatakan Profesor Sarlito ada baiknya kita tidak mendiskriminasi mereka karena mereka pun tidak akan menulari kita. Akan tetapi, teman-teman LGBT juga diharapkan lebih bijak untuk tidak menuntut berbagai hal dan tidak menunjukan hubungannya di ruang publik karena bagaimanapun masyarakat masih belum siap menerima kehadiran LGBT di Indonesia.