CURHAT: Apakah Keinginanku untuk Lari dari Kehidupan Ini Egois?

Curhat

Halo Pijar Psikologi!

Di dunia yang ramai seperti ini, aku merasa kesepian. Sejak kecil rasanya kehidupanku tidak pernah menyenangkan. Ayah bekerja di perantauan dan pulang setiap tiga bulan sekali. Dulu sekali, ayah seperti sosok pahlawan. Setiap kali aku nakal dan dipukuli ibu, ayah adalah orang yang kucari. Akan tetapi, sekarang aku merasa peran ayah tidak ada apa-apanya. Mungkin disadari atau tidak, aku sudah terbiasa tanpa kehadiran ayah. Sementara, ibuku adalah seorang dengan masa lalu yang kelam. Beban di pundaknya terlalu besar untuk mengurus aku dan mas. Terkadang ibu harus bekerja di gudang tembakau untuk membantu finansial keluarga. Untuk masku sendiri, aku mengakui dia bukanlah figur yang baik. Dia selalu berkata kasar padaku.

Di samping keluargaku yang toxic, aku juga memiliki hubungan pertemanan yang tidak cukup baik. Sejak lulus smk tahun lalu dan masuk kuliah, aku kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman baru. Meski aku mencoba lebih percaya diri dan terbuka, teman-teman yang kuajak berbicara sepertinya tidak pernah tertarik dengan topik pembicaraannya. Karena itu, aku tidak punya teman dekat hingga sekarang. Aku selalu dihinggapi perasaan iri dengan teman-teman yang lain karena memiliki teman dekat untuk berbagi cerita.

Jujur saja, sejak tahun 2015 yang lalu, aku terjebak dalam kehidupan fiksi novel, film, drama, dan bahkan keluarga nyata orang lain. Aku selalu berharap semuanya baik-baik saja dan hidup dengan keluarga yang bahagia. Kadang aku juga ingin pergi jauh dan mengabaikan semuanya. Padahal, orang tuaku bekerja untuk membenahi ekonomi keluarga tapi aku tidak bisa bersikap dewasa dan menerimanya. Aku merasa sangat malu, egois, dan terluka. Apakah aku salah?

Gambaran: Perempuan, 19 Tahun, Pelajar/Mahasiswa.


Jawaban Pijar Psikologi

Terima kasih karena telah mempercayakan Pijar Psikologi untuk menjadi tempatmu berbagi cerita. Bagaimana kabarmu hari ini? Semoga kamu merasa jauh lebih baik sekarang.

Ketika membaca tulisanmu ini, kami bisa memahami bahwa sepertinya sekarang adalah tengah menjadi masa-masa yang sulit bagi dirimu. Sendiri. Mungkin itu yang kamu rasakan selama ini. Rasanya ingin sekali memiliki keluarga yang hangat dan teman-teman yang memahami seperti orang-orang lain. Namun, sepertinya kenyataan yang kamu rasakan adalah sebaliknya. Keluarga yang tidak mendukung dan teman-teman yang kurang antusias ketika diajak bicara membuat rasa “sendiri” ini menjadi- jadi. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan hangat justru sering menggunakan kata-kata makian saat berbicara denganmu. Teman yang seharusnya mendengarkan dan memahami justru menyalahkan atas kondisi yang terjadi. Teman-teman yang seharusnya responsif terhadap ajakanmu untuk mengobrol justru menunjukan sikap yang tidak antusias. Mungkin ada rasa marah, jengkel, atau kecewa atas hal ini. Selain itu, sepertinya juga ada rasa bersalah atas rasa marah, jengkel, atau kecewa ini sehingga muncul pertanyaan “apakah yang aku rasakan/pikirkan ini benar?”, “apakah aku boleh merasa/berpikir yang demikian?”. Tentu hal ini menjadi sebuah dilema.

Mencari hubungan yang bermakna dan hangat dengan orang lain adalah fitrah kita sebagai manusia, karena kita memang makhluk sosial yang butuh untuk saling bergantung. Rasa saling bergantung tentu dilandasi oleh rasa saling percaya. Sebagaimana kamu mempercayai teman dekatmu untuk berbagi atau sebagaimana kamu meyakini bahwa keluarga adalah sumber dukungan yang sangat besar dan penting. Karena dilandasi oleh rasa percaya, ketika ada masalah saat berinteraksi dengan mereka akan sangat mungkin kita akan merasa kecewa. Seperti yang kamu rasakan ketika ternyata teman dekatmu justru kurang empatik dalam merespon curhatan atau ketika keluarga justru menggunakan makian saat berbicara denganmu. Melihat hal ini maka apa yang kamu rasakan dapat dipahami keberadaannya.

Di sisi lain, meskipun seringkali ada permasalahan tetapi hubungan yang kamu miliki dengan mereka tetap merupakan hal yang berarti. Meski kamu begitu merasa marah, kecewa, atau jengkel dengan mereka, kamu masih tetap memiliki rasa belas dan kasih kepada mereka. Melihat dari hal ini, maka rasa bersalah yang kamu rasakan menjadi hal yang wajar untuk dirasakan. Lalu mana yang valid dan nyata?

Keberadaan keduanya sama-sama benar karena kamu mengalami dua pengalaman yang berbeda dari satu situasi yang sama. Perlu diingat bahwa apa yang kita rasakan berbeda dengan apa yang kita lakukan. Kita merasa marah bukan berarti kita harus marah-marah. Sedih tidak selalu menangis dan senang tidak selalu dilampiaskan dengan tertawa. Hal ini dikarenakan kita punya kendali atas apa yang kita lakukan.

Berbicara terkait emosi, sama hal nya seperti kita berbicara tentang insting binatang. Itu adalah alarm bagi kita atas suatu hal. Misalnya, marah muncul ketika kita perlu membela diri, sebagaimana juga dengan binatang yang menjadi agresif ketika bertemu musuh. Senang muncul ketika kita menemukan apa yang membuat kita nyaman dan dapat memenuhi kebutuhan, sehingga kita terdorong untuk mencari cara agar hal ini kembali terulang sebagaimana juga dengan binatang berusaha mencari tempat yang banyak makanan. Dari contoh ini, dapat kita lihat bahwa emosi dan insting sama-sama berfungsi untuk melindungi diri. Beda antara insting binatang dan emosi manusia berada pada cara kelola. Kita sebagai manusia memiliki pikiran yang dapat memilah perilaku-perilaku mana yang tepat kita lakukan saat merasakan sesuatu.

Pada dasarnya setiap apapun yang ada atau terjadi sifatnya adalah netral. Bagaimana persepsi kita atas hal tersebutlah yang menentukan nilai hal tersebut bagi kita, apakah positif atau negatif. Misalnya, bagimu sikap ibu dan kakak yang sering memaki adalah hal yang sangat menyakitkan. Akan tetapi, bisa jadi di luar sana ada orang yang melihat perilaku memaki sebagai hal yang positif karena itu adalah sikap yang terus terang. Ketika kita semakin yakin bahwa suatu hal itu buruk maka semakin buruk pula hal itu bagi kita, sehingga respon emosi dan perilaku yang kita munculkan pun adalah respon dan perilaku yang ditujukan kepada hal yang buruk. Padahal, seringkali pikiran kita bias dalam melihat suatu hal sehingga seolah-olah hanya ada satu nilai kebenaran dari suatu peristiwa. Bisa diambil contoh bahwa selama ini kamu mungkin hanya menilai bahwa ibu dan kakak yang memaki dari satu sisi saja, yaitu mereka ingin menyakiti. Padahal ada banyak kemungkinan lain yang sebenarnya terjadi. Misalnya, “mereka mungkin berniat untuk memberi tahu tetapi kurang dapat menyampaikan dengan cara yang baik”, “situasi mereka tengah tidak baik sehingga apa yang mereka sampaikan menjadi menyakitkan”, “mereka tidak selalu memaki, hanya memaki pada saat tertentu saja yaitu pada saat ….”, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Mengelola pikiran ini berarti menyadari bahwa apa yang kita pikirkan bisa saja tidak sepenuhnya benar, bisa jadi ada kekeliruan di dalamnya, bisa jadi ada kebenaran-kebenaran yang tidak termasuk di dalamnya. Sebenarnya kamu pun sudah mencoba melakukannya, yaitu ketika kamu merasa membutuhkan keberadaan orang lain saat memasuki masa kuliah. Berbeda dari biasanya, kamu menilai bahwa saat ini akan lebih baik jika kamu mencoba untuk memulai interaksi terlebih dahulu. Ini adalah sesuatu yang patut untuk dihargai. Kamu sudah berani mencoba untuk keluar dari zona nyaman. Keberanian yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Hasilnya mungkin masih belum seperti yang kamu inginkan, tetapi bukan berarti ini adalah hal buruk untuk dilakukan.

Ada satu tips yang kami dapatkan dari sebuah buku. Untuk terlibat dalam suatu obrolan panjang, salah satu hal yang perlu dimiliki adalah “ground” yang sama. Maksudnya adalah kamu dan orang yang diajak bicara sebaiknya memiliki ketertarikan yang sama pada suatu hal, misal saja musik, film, atau tempat makan yang enak dan murah. Ketika kita memiliki “ground” yang sama dengan lawan bicara, maka pembicaraan yang terjadi akan mengalir sehingga kedua pihak pun akan merasa nyaman. Mungkin cara ini bisa kamu coba lakukan. Cari teman-teman yang memiliki ketertarikan yang sama, bisa dengan yang satu hobi, ataupun dengan yang satu organisasi.

Kamu juga bisa membuat tabel untuk mencoba menelaah emosi dan pikiran yang muncul pada situasi-situasi tertentu. Pada kolom pertama, kamu bisa menuliskan situasi apa yang terjadi. Seperti misalnya adalah teman dekatmu tidak membalas pesan hingga berhari-hari. Kemudian,pada kolom sampingnya tuliskan mengenai apa yang kamu rasakan. Mulai dari pikiran seperti, “dia sedang menjauhiku” juga emosi yang kamu rasakan seperti, perasaan takut dan merasa bersalah. Pada kolom yang ketiga, kamu bisa menuliskan pikiran-pikiran alternatif seperti, “dia mungkin sedang sibuk” atau “dia mungkin sedang ingin sendiri dan tidak bisa diganggu”. Pada kolom yang terakhir, kamu bisa menuliskan emosi yang kamu rasakan setelah memunculkan pikiran-pikiran alternatif tersebut. Seperti perasaanmu jadi lebih tenang dan juga rasa bersalahmu jadi lebih berkurang.

Kamu bisa menggunakan atau mereplikasi tabel ini dan mengisinya dengan situasi- situasi yang dirasa masih mengganjal. Dengan secara rutin melakukan hal ini, kita bisa semakin memahami apa yang terjadi pada diri kita. Sehingga kita akan lebih menyadari hal-hal seperti apa yang kemungkinan besar akan memunculkan respon negatif, baik itu secara emosi, pikiran, ataupun perilaku. Kita juga bisa menjadi lebih siap jika suatu saat kita menghadapi situasi yang serupa. Ini akan membuat perilaku yang kita lakukan didasarkan pada pemikiran yang lebih jernih.

Terakhir, seperti yang kita semua tahu bahwa mengharapkan orang lain berubah jauh lebih sulit terpenuhi dibandingkan kita sendiri yang memulai dengan mengubah diri kita. Sulit memang dan tak jarang menyakitkan dan hasilnya mengecewakan. Akan tetapi dengan melakukan sesuatu, kita memiliki kemungkinan bahwa apa yang kita inginkan menjadi tercapai. Sedangkan jika kita tidak melakukan  apapun  maka  kemungkinan  itu  tidak  mungkin  ada.  Luka masa lalu adalah bagian dari hidup dan setiap orang memilikinya dengan bentuk yang berbeda-beda. Perlu diingat bahwa luka yang kita miliki bukanlah hidup kita sepenuhnya.

Mungkin ini saja yang bisa kami sampaikan. Semoga artikel ini dapat memberikan manfaat untuk kamu dan juga orang lain.

Terima kasih telah berbagi.

Salam,

Pijar Psikologi


Catatan: Curhat adalah sesi konsultasi yang disetujui oleh klien untuk dibagikan kepada pembaca agar siapapun yang mengalami masalah serupa dapat belajar dari kisahnya.

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

CURHAT: Saya Tidak Bisa Sendiri dan Selalu Bergantung dengan Suami

Next
Next

CURHAT: Saya Jobless dan Bingung dengan Masa Depan Saya