Gagasan Jung dan Adler Tentang Berdamai dengan Diri Sendiri
Tidak jarang ketika kita sedang sendiri dan mengambil momen untuk berpikir, perasaan gusar dan gelisah datang menguasai diri seolah apa yang telah kita lakukan selama ini tidak cukup. Ada perasaan iri setelah duduk lama termenung dan membandingkan pencapaian kita dengan orang-orang di sekitar kita. Sebagai manusia, kita selalu saja merasa cukup setelah mendapatkan validasi atau pengakuan dari orang lain. Padahal ukuran “cukup” itu sendiri untuk masing-masing individu tentu tidak sama. Lantas, apakah berdamai dengan diri sendiri menjadi mungkin ketika penerimaan diri saja sangatlah susah?
***
Dalam berbagai kesempatan, psikolog dan semua penggiat peningkatan awareness kesehatan mental di dunia pasti menambahkan bahasan mengenai pentingnya berdamai dengan diri sendiri demi langkah di hari selanjutnya yang lebih ringan. Pemaknaan secara literal pada kalimat ini menjadi sangat susah karena secara konsep juga lah abstrak. Beberapa di antara kita mungkin pernah bingung, tidak hanya dengan arti secara konkretnya, tetapi juga bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan untuk bisa mewujudkannya. Untuk itu, artikel ini akan membahas perbedaan konsep tentang berdamai dengan diri sendiri oleh C. G. Jung dan Alfred Adler.
Hakikat Kejiwaan Manusia
Berbeda dengan Freud yang menyampaikan bahwa hakikat kejiwaan manusia adalah unconsciousness atau alam bawah sadar mereka, Jung menjelaskan bahwa hakikat kejiwaan manusia terletak pada dualitasnya. Manusia pasti memiliki sisi cerah dan gelapnya sendiri. Jung menyebut sisi cerah manusia ini sebagai persona, sementara untuk sisi gelap adalah shadow. Persona sendiri dapat didefinisikan sebagai citra ideal yang diproyeksikan seseorang kepada orang lain. Jung menjelaskan bahwa persona ini bukanlah cerminan yang sebenarnya dari consciousness atau kesadaran kita. Oleh karena itu, jika kita mengidentifikasikannya terlalu sering sebagai true-self kita, maka akan sangat mungkin bagi kita untuk mengalami konflik batin serta represi emosi yang tiada henti.
Sementara, shadow menurut Jung adalah bagian dari diri kita yang tidak boleh diketahui oleh dunia luar. Kita tidak menunjukkan sisi diri kita yang ini karena dapat menjadi sumber kecemasan atau mungkin juga rasa malu. Dalam berbagai literatur, shadow ini sering diinterpretasikan sebagai karakter yang jahat—yang juga selaras dengan apa yang Jung sampaikan bahwa ada baiknya shadow yang kita miliki ini bisa kita selesaikan dengan baik.
Selain persona dan shadow, manusia juga memiliki anima/animus sebagai bukti dari dualitasnya. Sebagai contoh, seorang lelaki yang kuat kadang kala memiliki sifat lembut dan perasa atau tendensi feminism yang diberi sebutan anima oleh Jung. Begitu juga dengan wanita yang memiliki sifat-sifat maskulinitas atau animus, seperti gagah dan berani. Oleh karena itu, secara psikologis Jung melihat manusia sebagai dualitas itu sendiri, tidak ada namanya eksklusivitas seperti introver dan ekstrover. Kita mempunyai keduanya, dan muncul tergantung situasi. Akibatnya, manusia selalu mendambakan persatuan atau wholeness dari dualitasnya ini.
Alfred Adler juga menyampaikan konsep yang berbeda dari Freud. Bukan hasrat, nafsu, dan gairah seksualitas yang menjadi hakikat kejiwaan manusia, tetapi inferioritas. Segala apa yang dianggap kurang bagi manusia justru akan menjadi tumpuan untuk menghadapi dinimika kehidupannya. Kekurangan itu bisa membuat manusia bergerak mendapatkan superioritas. Karena itu, Adler menganggap manusia sebagai makhluk yang berorientasi ke masa depan, di mana berfokus pada progresinya untuk mendapatkan superioritasnya. Fiction yang digambarkan dengan pernyataan “as if” merupakan konsep Adler mengenai tujuan ideal manusia, yang mana tidak bersifat palsu, tetapi direka demi menjauhi inferioritas. Penjelasannya adalah bahwa menurut beliau, kita dilahirkan dalam suatu inferioritas yang menuntun kita untuk berfiksi sebagai upaya untuk mengenyahkan kekurangan di dalam dirinya. Berbeda dari wholeness-duality Jung, Adler mengatakan mimpi manusia untuk menjadi superior.
Formula untuk Berdamai dengan Diri Sendiri
Jung dan Adler mengusulkan konsep berdamai dengan diri sendiri yang bisa dibilang beririsan. Di mana, konsep wholeness-duality milik Jung tidak akan tercapai tanpa adanya individuation dan konsep superioritas-inferioritas milik Adler tidak akan tercapai tanpa adanya gaya hidup yang sehat.
Individuation dilihat oleh Jung sebagai proses dari self-realization mengenai makna dan tujuan hidup yang hendak dicapai oleh seseorang. Ketika ia berhasil menemukan dirinya sendiri seperti apa berdasarkan pengalaman-pengalaman yang sudah terjadi sebelumnya juga memutuskan untuk jujur pada dunia dengan menjadi dirinya sendiri, integrasi inilah yang disebut sebagai output dari individuation.
Proses dari individuasi ini sendiri pasti tidaklah mudah dan menyakitkan. Dibutuhkan keberanian bagi seseorang untuk membuka bagian dari dirinya yang telah terabaikan ataupun juga tertolak, demi memfasilitasi proses inidviduasi ini. Karena itu, tahap pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan mengenali shadow kita. Shadow kita ini sebenarnya bergerak untuk mendapatkan cinta bagaimanapun caranya, dan hal ini bisa merusak diri sekaligus kehidupan orang lain. Dengan mengenali sisi gelap kita yang seperti ini, harapannya kita bisa mengontrolnya lebih baik agar penyalurannya tidak meledak-ledak dan menghasilkan penyesalan.
Berjuang untuk kesempurnaan adalah penjelasan yang sempurna untuk konsep hakikat kejiwaan manusia milik Adler. Karena itu, selain penerimaan inferioritas yang kita miliki diwajibkan untuk dapat meraih kesempurnaan, dibutuhkan gaya hidup atau lifestyle yang sehat juga untuk bisa menjaga keadaan tersebut. Salah satu gagasan dari gaya hidup yang sehat ini adalah socially useful atau menjalin hubungan baik dengan orang-orang di sekitar kita. Sebagai makhluk sosial, kita hidup berdinamika dan membutuhkan orang lain. Konsep ini tidak akan berubah meskipun kita sudah mencapai kesempurnaan. Karena itu, fiksi atau bayangan yang kita buat harus tetap realistis dan juga sehat, baik untuk sendiri maupun juga untuk orang lain.
***
Penerimaan diri atas masa lalu ataupun juga atas kekurangan-kekurangan dalam diri kita memang membutuhkan waktu. Sebagai respon naluriah pertama, manusia akan lebih sering memilih melanjutkan hidup seolah masalah tersebut tidak pernah terjadi. Tak jarang di masa depan ketika kita mengalami pengalaman yang mirip dengan memori tersebut, kita bisa larut ke dalam emosi-emosi negatif yang sama dengan yang terjadi di masa lalu. Sebenarnya, tidak pernah ada kata terlambat untuk mulai mengenali shadow atau sisi gelap dalam diri kita. Oleh karena itu, kamu adalah orang yang hebat luar biasa karena sudah mau terus mencoba untuk mengenali dan menerima hal itu setiap harinya. Semoga hari baik untuk bisa berdamai dengan diri ini segara datang untuk kita semua.
Artikel ini adalah artikel sumbang tulisan dari H.S. Billy. Ia adalah mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Billy dapat dihubungi melalui instagram: @hsbilly_, twitter: @hsbilly1, email: hsbilly.bandung@gmail.com dan blog: Jurnaleklipse.blogspot.com