Ibu dengan Gangguan Mental: Antara Stigma dan Harapan

Beberapa waktu lalu publik disentuh hatinya oleh unggahan Marshandaseorang public figure sekaligus ibu dengan Gangguan Mental Bipolar. Ia mengutarakan kesedihannya yang kehilangan hak asuh terhadap anaknya setelah bercerai. Ia menjelaskan kekecewaannya karena gangguan mentalnya menyebabkan ia kehilangan kesempatan untuk mendampingi buah hatinya selama 24 jam. Meski begitu, ia akhirnya memilih untuk hidup dengan segala kekurangan yang ia miliki dan tetap bertahan.

Menjadi ibu tanpa gangguan mental saja sudah memiliki tantangan yang berat, apalagi menjadi ibu dengan gangguan mental. Terdapat banyak tantangan tambahan dalam mengasuh anak yang dihadapi ibu dengan Serious Mental Illness (SMI). Ibu dengan SMI adalah ibu yang sedang atau pernah mengalami gangguan psikologis yang berakibat pada menurunnya atau menghilangnya kemampuan untuk beraktivitas. Gangguan tersebut dapat menghalangi kemampuan seseorang untuk mengelola hubungan interpersonal, merawat diri, bekerja, atau melakukan sesuatu yang menghibur. Contoh Serious Mental Illness adalah depresibipolarskizofrenia, atau gangguan panik.

Ibu dengan SMI tentu perlu menyesuaikan aktivitas mengasuh anak dengan jadwal kunjungan reguler ke psikolog/psikiater. Tak hanya itu, kesulitan finansial juga menjadi salah satu tantangan yang dialami ibu dengan SMI. Kunjungan reguler ke psikolog/psikiater merupakan hal wajib yang perlu dilakukan ibu dengan SMI agar dapat tetap stabil. Namun, kunjungan-kunjungan tersebut tentu membutuhkan biaya yang banyak. Begitu pula dengan pengucilan yang mereka terima dari orang sekitar. Stigma negatif mengenai orang dengan gangguan mental yang masih melekat di masyarakat membuat ibu dengan SMI cenderung dikucilkan. Pengucilan tersebut menjadi tantangan lain yang harus dihadapi oleh ibu dengan SMI.

Orang dengan gangguan mental rentan terhadap kembalinya gejala gangguan mental atau relapseStres yang dihadapi sehari-hari, jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu relapse. Ibu dengan SMI menghadapi stres yang lebih besar dibandingkan orang dengan gangguan mental yang tidak memiliki anak. Banyaknya tantangan yang dihadapi dan kemungkinan relapse tersebut membuat ibu dengan SMI dipandang tidak dapat menjadi ibu yang baik.

Mengapa Wanita dengan SMI Tetap Memilih Menjadi Ibu?

Di luar Indonesia, seseorang yang memiliki gangguan mental sudah sadar akan semua tantangan yang mungkin terjadi jika memiliki anak. Kebanyakan dari mereka pun memutuskan untuk tidak memiliki anak meskipun sudah menikah. Namun di Indonesia, terdapat beberapa alasan yang bisa menjelaskan mengapa wanita dengan SMI tetap memiliki anak.

Pertama, terdapat tuntutan sosial yang memandang pasangan menikah harus memiliki anak. Masih banyak wanita dengan gangguan mental yang tetap memiliki anak karena tuntutan sosial tersebut. Alasan kedua karena ada wanita yang memiliki naluri keibuan yang tinggi. Naluri tersebut membuat wanita mengabaikan risiko kesehatan dan tetap memiliki anak, meskipun memiliki riwayat gangguan mental. Alasan ketiga adalah karena kesehatan mental di Indonesia belum terlalu diperhatikan. Stigma yang melekat membuat ibu enggan memeriksakan diri ketika gejala gangguan muncul. Hal tersebut membuat ibu tidak menyadari gangguan mental yang dimilikinya sehingga ibu tetap hamil dan melahirkan meskipun memiliki gangguan mental.

Apakah Ibu dengan SMI Mampu Menjadi Ibu yang Baik?

Ibu dengan SMI memang menghadapi banyak tantangan dalam membesarkan anak, tapi bukan berarti mereka tidak mampu menjadi orang tua yang baik. Di balik semua tantangan yang dihadapi, ibu dengan SMI sama seperti ibu lainnya. Mereka antusias dan bahagia dengan kesempatan menjadi ibu. Beberapa ibu mengatakan memiliki anak dapat mengurangi gejala gangguan mental dan meningkatkan motivasi serta kebanggaan mereka.

Gangguan mental yang dimiliki justru bukan penyebab utama ibu dengan SMI kurang bisa menjalankan perannya dengan baik. Kemampuan mengasuh anak tidak dipengaruhi diagnosis, melainkan lebih dipengaruhi oleh masa lalu dan pengalaman hidup saat ini. Gangguan mental justru hanya sebagian kecil dari kombinasi berbagai masalah hidup yang dapat memicu relapse. Pengucilan dan kesulitan finansial merupakan contoh beberapa masalah hidup yang bisa berkombinasi dan memicu relapse pada ibu dengan SMI. Selama ibu dengan SMI tidak mengalami relapse, maka ia dapat melakukan tugas parenting dengan baik, sama seperti ibu-ibu lainnya.

Memiliki anak bagi ibu dengan SMI bukanlah sesuatu yang tidak bisa dilakukan. Hanya saja, ibu dengan SMI perlu lebih aktif mengelola stres dan peka terhadap tanda-tanda relapse. Pasangan dan anggota keluarga lainnya juga dapat membantu memerhatikan tanda-tanda relapse dan mencegah agar relapse tersebut tidak memengaruhi tumbuh kembang anak.

Baca selengkapnya mengenai tips untuk ibu dengan SMI di sini.

Dukungan bagi Ibu dengan SMI

Dukungan yang tepat untuk ibu dengan SMI dapat membantunya untuk menjalankan peran dengan baik. Kelas dan pelatihan parenting atau support group untuk ibu dengan SMI dapat menjadi pilihan dukungan yang dapat diberikanIbu dengan SMI juga perlu mendapatkan dukungan terus menerus agar terhindar dari stres berlebih. Ibu dengan SMI merasakan lebih sedikit stres jika tinggal dengan anak beserta anggota keluarga lainnya. Selain itu, dukungan emosional untuk ibu dengan SMI juga berpengaruh positif pada kemampuan mereka untuk berfungsi secara baik dalam kegiatan sehari-hari.

Evaluasi psikologis reguler juga perlu dilakukan oleh ibu dengan SMIIbu bisa menghubungi psikolog/psikiater untuk membantu menjadwalkan evaluasi psikologis reguler untuk mengetahui perkembangan gangguan mental dan tingkat stres. Evaluasi psikologis reguler ini dapat membantu ibu untuk lebih sadar akan perubahan yang terjadi di dalam dirinya.

Ibu dengan SMI dan anak yang dilahirkannya adalah simbiosis mutualisme. Kehadiran anak akan memberikan semangat dan motivasi bagi ibu dengan SMI untuk menjalani pengobatan. Di sisi lain, kehadiran ibu bagi anak memberikan rasa aman dan mengurangi kecenderungan pengembangan gangguan psikologis pada anak.

Keputusan untuk memiliki anak bagi ibu dengan SMI merupakan sebuah pilihan berani. Di satu sisi, ibu dengan SMI dapat memperoleh banyak hal positif dari mengasuh dan membesarkan anaknya. Namun di sisi lain, parenting merupakan tugas yang berat yang dapat memicu kembalinya gangguan mental yang pernah dialami. Adanya dukungan dan penanganan yang tepat dapat membantu ibu dengan SMI untuk tetap stabil dan melakukan perannya sebagai ibu dengan baik. Rasanya kita tidak perlu mempermasalahkan keputusan seorang wanita dengan SMI untuk hamil dan melahirkan. Justru akan lebih baik jika kita mendukung mereka agar dapat terhindar dari stres berlebih.

Ayu Yustitia

Psychology graduate. When she’s not busy writing about how to understand mind and soul, she reviews makeup and skincare at senandikaayu.wordpress.com

Previous
Previous

Memahami Dilema Ibu yang Kehilangan Hak Asuh

Next
Next

LIPUTAN: Mengenal Kesepian, Mengakhiri Sepi yang Perlahan Menggerogoti