Memahami Ekstrover dan Dunia Di Luar Dirinya
Selama ini kita memahami seseorang dengan kepribadian ekstrover sebagai seseorang yang ceria, menyenangkan, mudah bergaul, sering melempar jokes-jokes yang menghidupkan suasana, mood maker dan selalu menggunakan momen berkumpul sebagai “panggung” mereka untuk “tampil”. Namun, apakah benar semua itu mencerminkan kepribadian extrover?
***
Extrover dan introver adalah dua kepribadian yang mendapatkan energinya dari dua hal yang berbeda. Apabila seorang introver mendapatkan energi dari dalam dirinya sendiri, extrover mendapatkan energinya dari luar dirinya. Sifat kepribadian ini telah dikaitkan dengan jaringan sistem otak yang mengontrol sensitivitas terhadap kebutuhan penghargaan seseorang sehingga menghasilkan suatu respon tertentu. Studi menyebutkan bahwa stimulasi sosial pada seorang ekstrover berdampak signifikan terhadap peningkatan motivasi mereka. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa kedua kepribadian baik introver maupun ekstrover ditentukan oleh perbedaan respon saraf terhadap stimulasi sosial.
Pada 1960-an, Carl Jung seorang psikolog pertama kali memperkenalkan konsep introver dan ekstrover ketika membahas elemen kepribadian. Ia mengklasifikasikan dua kelompok ini berdasarkan dari mana mereka menemukan sumber energinya. Jung berpendapat bahwa ekstrover mendapatkan energinya dari interaksi dengan banyak orang dan dunia di luar dirinya. Sebaliknya, introver membutuhkan waktu sendiri untuk mengisi ulang energinya.
Berdasarkan kemampuan bersosialisasi, orang-orang ekstrover cenderung menyukai hal-hal yang ada di luar dirinya, salah satunya bersosialisasi. Mereka sangat bersemangat dalam merespon stimulasi sosial semacam ini. Ekstrover diketahui lebih “hadir” dalam interaksi sosial. Mereka menyerap energi dari orang-orang di sekitar mereka dan seringkali menyukai menjadi pusat perhatian dalam sebuah kelompok sosial yang besar. Namun, hal itu bukan berarti bahwa seorang ekstrover tidak menyukai waktu sendiri. Sebuah studi yang baru-baru ini dilakukan di Finlandia menunjukkan, baik introver maupun ekstrover merasa bahwa bersosialisasi menguras energi mereka. Tidak hanya introver, ekstrovert juga terkadang membutuhkan waktu untuk sendiri, agar membuat mereka lebih tenang daripada berada bersama orang lain.
Dalam hal komunikasi, energi dari interaksi sosial juga memiliki pengaruh penting terhadap seorang ektrover dalam berkomunikasi. Mereka berbicara lebih sering (biasanya dalam suara yang lantang), untuk mendapatkan perhatian publik dan mengekspresikan diri lebih sering. Dalam sebuah studi menyebut, seorang ekstrovert diketahui lebih banyak melakukan kontak mata dan berbicara lebih sering daripada introver ketika menghadapi orang baru yang belum dikenal.
Dalam pengambilan keputusan, ekstrover membuat keputusan yang tergolong cepat berdasarkan apa yang terjadi saat ini. Hal tersebut bisa jadi sangat berisiko. Beberapa teori menyatakan bahwa otak mereka terintegrasi dalam memberikan reward pada diri mereka ketika sebuah keputusan berjalan dengan baik. Salah satu studi, menemukan bahwa para ekstrover yang mengambil risiko dan sukses, maka otak akan memproduksi dopamin. Hal inilah yang mungkin menjadi dasar seorang ekstrover mengambil tindakan berisiko karena adanya lonjakan dopamin dalam otak.
***
Seiring berjalannya waktu dan seseorang bertumbuh menjadi dewasa, tidak ada kepribadian yang terlalu ekstrem. Kepribadian bisa berkembang menjadi “diantara keduanya”. Seseorang bisa berada dalam spektrum diantara kedua kutub, introver maupun ekstrover. Kepribadian ini selain dipengaruhi oleh faktor genetik dan hormon, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti gaya pengasuhan dan lingkungan sosial.
Tidak ada kepribadian yang lebih baik dan lebih bahagia. Keduanya memiliki core value dan asal sumber energi yang berbeda, sehingga hal tersebut memengaruhi cara mereka berpikir, bertindak dan bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari. Sudah saatnya untuk memahami dan bukan menghakimi dan melabeli orang-orang disekitar kita. Selamat memahami manusia!
Sumber gambar: www.unsplash.com