Memahami Inner Child dalam Diri
Banyak orang tidak menyadari dan terus tumbuh mendewasa tanpa tahu dan kenal lebih dalam tentang dirinya sendiri. Banyak orang kemudian mudah sekali merasa tersinggung, marah dan berteriak, bahkan dengan mudah memutus relasi sosial. Mengapa banyak orang berlaku demikian?
***
Orang-orang terus bertumbuh tanpa menyadari ada luka batin yang dirasakan oleh “anak kecil” (inner child) dalam diri mereka semasa dalam pengasuhan orang tua. Hal inilah yang menyebabkan seseorang semakin mudah tersulut emosinya. Sayangnya, tidak semua orang tahu dan sadar bahwa “anak kecil” dalam diri mereka sedang terluka.
Apa itu Inner Child?
Inner child adalah sisi kepribadian seseorang yang masih bereaksi dan terasa seperti anak kecil atau sisi kekanak-kanakan dalam diri seseorang. Mengapa inner child ini berpengaruh terhadap kepribadian, dan cara bersikap seseorang ketika dewasa? Hal ini karena pengalaman masa kecil seseorang di masa lalu bisa memiliki efek destruktif pada masa kini. Inner child pada setiap orang adalah inti dari kepribadian yang terbentuk dari pengalaman-pengalamannya tentang bagaimana cara bertindak untuk dicintai yang didapatkan selama masa kanak-kanak.
Bagaimana Inner Child Bisa Terluka?
Pengalaman menyakitkan, seperti mendapatkan kekerasan selama masa kanak-kanak, atau mengalami pengabaian, kurangnya kasih sayang, kontrol, perlindungan dan pengasuhan dalam keluarga yang disfungsional dapat melukai inner child seseorang. Luka tersebut apabila tidak disadari dan disembuhkan, maka akan terbawa hingga ke kehidupan dewasa. Misalnya, seorang anak perempuan melihat orang tuanya bertengkar lalu ia pun melihat Ayahnya memukul Ibunya. Setelah ia menjadi wanita dewasa, ia cenderung sulit percaya, takut jatuh cinta dan takut menjalin hubungan dengan pria. Hal ini karena inner child dalam dirinya telah terluka sehingga itu menjadi trauma dan memengaruhi kehidupan dewasanya. Secara karakteristik, orang-orang yang inner child-nya sedang terluka akan menunjukkan masalah dengan kepercayaan, keintiman, perilaku adiktif dan kompulsif, serta hubungan saling ketergantungan. Akibatnya, banyak dari mereka akhirnya memiliki attachment atau bonding dengan orang tua yang rendah. Atau, trauma masa kecilnya membawanya pada implementasi perilaku ketika dewasa yang seringkali merasa tidak percaya diri, anti kritik, mudah tersinggung, mudah marah, takut disakiti orang lain, khawatir, cemas, dan merasa tidak aman. Perilaku-perilaku tersebut adalah bentuk pertahanan diri terhadap “bahaya” yang diciptakan oleh lingkungan sebagai bentuk manifestasi pola pengasuhan semasa kecil.
Inner child yang terluka cenderung membuat seseorang merasa tidak lengkap dan kehilangan kualitas-kualitas seperti kejujuran, tidak takut, rasa aman, keinginan bersenang-senang, dan tidak bersalah dalam diri. Hal itu membuat banyak orang akhirnya menghabiskan hidup mereka dengan mencari kualitas-kualitas tersebut dari luar diri mereka. Lalu apa yang bisa dilakukan ketika inner child terluka?
Menyembuhkannya.
Baca juga: Kita Adalah Korban Kehidupan, tapi Mau Sampai Kapan? di sini.
Menyembuhkan luka batin bisa dilakukan dengan rekonsiliasi atau reconnect dengan inner child. Langkah tersebut dapat membantu kita dalam beberapa hal, yaitu:
menemukan dan melepaskan emosi yang selama ini direpresi (dipendam/ditahan)
membantu kita mengenali kebutuhan yang belum terpenuhi
membantu meningkatkan cara-cara self-care
membantu kita menjadi pribadi yang lebih kreatif dan menyenangkan
meningkatkan self-respect
Baca juga: Mengobati Luka Batin dengan Memaafkan Diri Sendiri di sini.
Menyembuhkan inner child kita yang terluka adalah sebuah proses yang panjang dan sebuah perjalanan yang sangat personal. Setiap orang memiliki inner child-nya masing-masing dengan kondisi yang berbeda-beda, hal pertama yang perlu kita sadari adalah bagaimana hubungan kita dengan “anak kecil” dalam diri kita ini. Apakah kita sering menyapanya? Apakah kita sudah menerimanya sepenuhnya?
Sadari bahwa diri ini punya inner child yang butuh untuk diterima, dirangkul, diperhatikan, dan dicintai. Kita perlu menyisihkan waktu untuk berdialog dengan diri kita “versi kanak-kanak” bahwa kita telah dewasa dan hidup di masa kini. Yakinkan padanya bahwa kita aman, kita baik-baik saja, dan kita diterima serta dicintai. Mengabaikan hubungan diri dengan inner child kita justru akan menjadi rantai derita yang tidak berujung hingga lahir generasi berikutnya. Cukupkan rantai derita ini pada diri kita. Putuslah rasa sakit yang turun-temurun ini hanya pada diri kita dan tidak meneruskannya ke generasi selanjutnya. Bagaimana caranya? Sadari, akui, terima, dan cintailah inner child dalam diri kita bagaimanapun keadaannya.
Sumber gambar: www.unsplash.com