Trauma Akibat Bencana yang Selalu Menghantui Hidup Saya

Sejujurnya, saya belum mengetahui secara pasti apakah perasaan takut terhadap gempa ini hanyalah ketakutan biasa atau sudah masuk dalam kategori PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Yang saya tahu sampai saat ini, menurut American Psychological Association (APA), apa yang saya rasakan merupakan PTSD akibat gempa yang saya alami sejak saat saya masih kecil.

Saya ingat sekali, 13 tahun yang lalu, saat saya masih berumur kira-kira 5 tahun. Ketika itu kami sekeluarga sedang menikmati tidur malam. Tiba-tiba di saat subuh menjelang pagi, gempa mengguncang kota Mataram, Pulau Lombok. Gempanya memang tidak menimbulkan kerusakan yang cukup parah, namun situasi mencekam yang saya saksikan sendiri sungguh membekas hingga saat ini. Saya ingat ketika itu saya langsung digendong oleh orang tua saya. Tetangga samping kanan kiri pun turut berhamburan menyelamatkan diri. Suasana mencekam yang saya alami sungguh tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Listrik mati, tanah masih bergoyang, tak ada kepastian, ditambah peringatan dini tsunami dikeluarkan. Sungguh, tak ada yang berharap berada di dalam kondisi seperti itu. Lemas, cemas dan takut bercampur menjadi satu. Semenjak itu, saya mulai takut terhadap apapun yang berhubungan dengan gempa.

Ketakutan ini mulai bertambah parah saat saya menginjak usia remaja, dimana tugas-tugas sekolah menuntut saya untuk tidur larut malam. Tidur pada larut malam sering menjadi momok menakutkan bagi saya. Hal ini disebabkan karena yang saya alami, gempa sering terjadi di waktu dini hari, kurang lebih setelah pukul 12 malam. Saya sering merasa cemas karena takut gempa akan datang ketika saya sedang tertidur pulas. Terkadang tubuh saya sering merasakan sensasi digoyang-goyang seolah-olah terjadi gempa, dan setelah itu detak jantung saya langsung berpacu hingga membuat dada saya terasa amat sesak. Sensasi itu kemudian diikuti oleh perasaan takut yang berlebihan.

Saya sempat lega, setelah beberapa tahun belakangan ini kampung halaman saya, Pulau Lombok, tidak lagi diguncang gempa seperti saat saya masih kecil. Namun, lagi-lagi ketakutan itu muncul kembali. Gempa berkekuatan 7 skala Richter yang mengguncang pulau kami tercinta terjadi pada 05 Agustus 2018 lalu. Saat itulah psikis saya benar-benar terguncang. Sejak kejadian itu, berminggu-minggu tidur saya tidak pernah tenang. Waktu malam menjadi momok menakutkan terutama bagi saya pribadi.

Meskipun saat ini saya tinggal di kota Yogyakarta untuk kuliah, namun dampak psikis dari kejadian gempa 7 skala Richter tersebut sangat saya rasakan. Suara apapun yang bergetar akan membuat saya lemas dan cemas berlebihan. Terutama oleh suara getaran jendela dan tanah yang bergetar, walaupun hanya karena kendaraan lewat, adalah hal yang sangat saya takuti. Jauh dari pulau Lombok bukan berarti jauh dari bahaya. Kota Yogyakarta juga kerap diguncang gempa bumi. Ini menambah kekhawatiran saya, terutama malam hari, apalagi ditambah saat ini saya tinggal sendirian.

Sering kali saya bertanya, berapa kali lagi perasaan cemas akan gempa ini akan selalu saya rasakan? Bagaimana jika saya tertimpa reruntuhan bangunan? Bagaimana jika gempa terjadi malam hari, akankah saya selamat dan masih diberikan hidup? Pertanyaan dan kekhawatiran itu sering terbesit dalam pikiran saya. Tak jarang saya dianggap berlebihan oleh teman-teman. Padahal, menurut saya keadaan psikis setiap manusia berbeda-beda. Gangguan psikologis tidak bisa diremehkan. Setiap orang punya medan perangnya masing-masing. Bagi mereka mungkin getaran tanah tidak berarti apa-apa. Tapi bagi saya, hal itu akan menimbulkan beragam perasaan yang campur aduk.

Maka dari itu, saya sangat berterima kasih kepada para relawan yang telah melakukan trauma healing kepada masyarakat terdampak gempa Lombok, khususnya anak-anak. Karena apa yang mereka rasakan saat kecil kemungkinan besar akan memengaruhi perkembangan psikis mereka ketika besar nanti. Bagi para penyintas bencana lainnya, ingatlah jika Anda tidak sendiri. Kita pasti bisa lebih kuat dan bangkit kembali.

Syarifa Azyyati Putri

Syarifa adalah seorang mahasiswa Psikologi di salah satu universitas di Yogyakarta. Ia ingin berbagi cerita bagaimana trauma dapat mempengaruhi kehidupan sehari-harinya. Syarifa dapat dihubungi di instagram: @syarifaaz (www.instagram.com/syarifaaz).

Previous
Previous

Self-healing: Sebuah Perjalanan Menyembuhkan Diri

Next
Next

Relawan Bencana dan Upaya Menjaga Kesehatan Mental Saat Bertugas