6 Stigma yang Salah Tentang Gangguan dan Kesehatan Mental
Stigma-stigma yang salah telah lama beredar di masyarakat terkait hal-hal yang berhubungan dengan gangguan dan kesehatan mental. Kita bisa melihat dari berapa banyak kasus pasung yang terjadi karena stigma “orang gila” yang melekat pada orang dengan gangguan mental? Berapa banyak orang yang melabeli ansos ketika kita ingin menikmati kesendirian sebagai bentuk self-care agar tetap sehat mental? Berapa kali depresi dikaitkan dengan tingkat keimanan dan rasa syukur?
***
Stigma negatif terhadap gangguan dan kesehatan mental memang menjadi keprihatinan kita bersama. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kesadaran terhadap isu-isu kesehatan mental di masyarakat. Padahal, stigma negatif yang disematkan pada kesehatan dan gangguan mental berakibat jauh lebih buruk dari apa yang pernah kita bayangkan.
Stigma negatif pada gangguan mental bisa membuat orang dengan gangguan mental merasa malu, menyalahkan diri sendiri, putus asa, dan enggan mencari serta menerima bantuan. Ditambah lagi, stigma-stigma tersebut menjadi sebuah penghakiman yang ekstrem terhadap mereka yang mengalami gangguan mental. Hal ini bisa menjadi pemicu diskriminasi publik yang berpengaruh terhadap kualitas hidup mereka.
Menurut sebuah penelitian, sebanyak 75% orang dengan gangguan mental mengaku pernah mengalami stigma negatif dari masyarakat. Angka tersebut seakan-akan menggambarkan perilaku masyarakat kita yang minim edukasi, tapi mengedepankan persepsi. Banyak orang masih beranggapan bahwa kesehatan dan gangguan mental adalah sesuatu yang tabu dan layak untuk dihindari. Banyak isu-isu yang sengaja tidak dibicarakan karena pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait kesehatan mental masih sebatas hal gaib yang hanya dapat disembuhkan oleh dukun.
Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai persepsi negatif atau stigma yang salah tentang kesehatan dan gangguan mental di masyarakat kita.
Introver Sama Dengan Ansos (Anti Sosial)
Introver merupakan salah satu dimensi kepribadian manusia. Seorang introver adalah seseorang yang merasa kesendirian membantunya untuk lebih berenergi. Mereka yang memiliki kepribadian introver menganggap dengan berada di keramaian maka, energi mereka akan tersedot habis. Itulah mengapa oarang-orang introver lebih memilih untuk menyendiri. Dengan menyendiri mereka merasa mendapatkan energi dan semangat baru sehingga mereka lebih nyaman dengan kondisi yang demikian.
Baca juga: Kepribadian Introver: Mengenal Mereka yang Senang Berteman Sepi dan Dirinya Sendiri di sini.
Mereka yang introver bukan berarti tidak memiliki teman atau anti dengan kehidupan sosial. Namun, ketika membangun hubungan dengan orang lain, mereka lebih mengedepankan kualitas dibandingkan dengan kuantitas interaksi. Orang introver lebih memilih untuk membentuk kelompok pertemanan yang intim dibandingkan jaringan pertemanan yang luas.
2. Orang Dengan Bipolar Disebut Gila
Gangguan bipolar memang merupakan gangguan mood yang dikenal memiliki dua fase, yaitu manik dan depresif. Seseorang dengan gangguan bipolar dapat berubah dengan cepat dari yang awalnya sangat senang (manik), tiba-tiba menjadi sangat sedih (depresif). Namun, bukan berarti orang dengan gangguan bipolar adalah orang gila hanya karena mood swing yang tiba-tiba.
Baca juga: Cerita Kami: Menjadi Bipolar itu Menyenangkan Sekaligus Menyedihkan di sini.
Orang-orang dengan gangguan bipolar adalah manusia yang sama seperti kita. Hanya saja, mereka memiliki gangguan perasaan yang apabila ditangani dengan tepat maka gangguan tersebut dapat dikontrol. Mariah Carey, Demi Lovato, Kurt Cobain, hingga Marshanda adalah beberapa contoh orang-orang dengan bipolar yang mampu menjalani hidup seperti manusia pada umumnya. Mereka mampu berkembang menjadi pribadi yang berkualitas dan menjalani peran sosialnya dengan baik. Maka dari itu, stigma “gila” pada bipolar adalah stigma yang tidak beralasan bahkan tanpa dasar. Sayangnya kita sudah melabeli bipolar dengan label negatif.
Baca juga: Menjadi Bipolar Bukan Batasan Untuk Tetap Menjadi Manusia Seutuhnya di sini.
3. Depresi Disebabkan Karena Kurang Iman dan Kurang Bersyukur
Orang-orang yang mengalami depresi seringkali mendapat cemoohan bahwa mereka kurang dekat dengan Tuhan, kurang beribadah, atau cemoohan seperti kurang bersyukur. Padahal komentar yang mencemooh tersebut justru akan semakin membuat orang dengan depresi semakin tenggelam dalam fase depresinya. Gangguan depresi adalah gangguan suasana hati yang berdampak pada penurunan kondisi emosi, fisik dan pikiran akibat sedih, hampa dan ketidakberdayaan berkepanjangan.
Baca juga: 13 Hal yang Tidak Boleh Dikatakan pada Orang Depresi di sini.
Depresi bukan tentang bersyukur. Orang-orang dengan depresi klinis memiliki rasa rendah diri yang besar, memiliki perasaan bersalah yang tinggi, dan bahkan memiliki keinginan untuk mati. Depresi juga bukan karena kurangnya ibadah dan hubungan dengan Tuhan. Seseorang yang mengalami depresi juga pergi beribadah ke gereja, melakukan meditasi bagi penganut Budha, rajin sholat serta puasa bagi Muslim, tetapi masih saja depresi. Mereka masih mengalami depresi, panic attack, melakukan self-cutting, dan masih berpikir untuk bunuh diri. Jadi, depresi tidak hanya sekadar tentang tingkat keimanan, ketagwaan, dan relasi seseorang terhadap Tuhannya. Namun, depresi lebih dari itu. Depresi adalah gangguan yang membuat orang dengan gangguan ini sakit. Orang yang depresi adalah orang sakit yang seharusnya diberi perawatan khusus oleh para ahli dan profesional. Maka dari itu, pernyataan depresi disebabkan karena kurang dekat dengan Tuhan, kurang beribadah dan bersyukur adalah stigma yang salah. Stigma tersebut justru memperburuk kondisi dan perasaan orang yang mengalami depresi.
Baca juga: Depresi: Sebuah Hal yang Nyata dan Manusiawi di sini.
4. Seseorang Dengan Gangguan Mental Tidak Akan Sukses
Orang-orang dengan gangguan mental, seperti bipolar, schizophrenia, ADHD, dan sebagainya bukan berarti tidak akan mencapai kualitas hidup yang baik. Mereka sama seperti manusia pada umumnya yang memiliki kesempatan untuk sukses, asalkan ditangani dengan tepat. Orang-orang dengan gangguan mental sebenarnya berada pada kondisi kesehatan yang dapat mengubah pemikiran, perasaan, atau perilakunya. Hal tersebut yang menyebabkan mereka terkadang kesulitan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia. Namun, bukan berarti mereka tidak bisa berkembang menjadi versi terbaik dari dirinya.
Beberapa figur publik diketahui telah terbuka dengan gangguan mental yang mereka alami. Diantaranya, Jim Carrey, Catherine Zeta Jones, The Rock Johnson, Carrie Fisher, J.K Rowling, Ted, Turner, Kristen Bell, dan lain sebagainya. Mereka membuktikan bahwa depresi, kecemasan, ADHD, bipolar tidak menjadi penghalang untuk tetap berkarya dan sukses.
5. Berbicara Dengan Diri Sendiri Adalah Gangguan Mental
Ada berapa banyak orang yang pada akhirnya membuka pembicaraan dengan diri sendiri pada masa-masa sulit? Self-talk atau berbicara dengan diri sendiri bukan merupakan gangguan mental. Sebaliknya, self-talk justru merupakan salah satu cara untuk menjaga kesehatan mental. Self-talk adalah cara berdialog dengan inner voice diri sendiri saat menghadapi berbagai macam situasi. Self-talk bisa diucapkan dalam hati maupun dengan suara lantang.
Berbicara dengan diri sendiri terkadang menjadi hal yang penting. Apalagi, ketika kita mengalami masa-masa sulit atau situasi yang dihadapkan pada berbagai pilihan. Self-talk menjadi sebuah sugesti untuk diri yang akan membantu diri sendiri menjadi lebih sadar dalam berpikir, merasa, dan bertindak.
6. Sibuk Dengan Dunianya Disebut Autis
Bagi orang-orang yang seringkali menatap layar handphone, terkadang mendapatkan label autis dari lingkungannya. Label itu pun bisa juga didapatkan ketika ada seseorang yang sibuk dengan “dunianya” sendiri, atau dunia yang tidak banyak dipahami oleh orang. Namun, tahukah bahwa label autis yang disematkan tersebut jauh sekali dari definisi autis sebenarnya.
Gangguan autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai oleh hambatan dalam berinteraksi sosial, komunikasi, serta memiliki pola perilaku dan minat yang terbatas dan berulang. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk memakai autisme untuk melabeli dan mencemooh orang yang sibuk dengan “dunianya”. Bisa jadi mereka yang sibuk dengan handphone adalah mereka yang sedang membalas pesan penting dengan orang terkasih. Bisa jadi orang-orang yang sibuk dengan”dunianya” adalah mereka yang sedang berpikir secara mendalam tentang hal-hal yang menjadi perhatiannya. Sekali lagi, kata autis untuk melabeli orang apalagi bertujuan untuk sebuah candaan adalah bentuk perilaku yang merendahkan karena #Autismebukancemoohan.
***
Sudah saatnya kita bersama-sama menghapus stigma yang salah tentang kesehatan dan gangguan mental. Sudah saatnya, kita sebagai manusia tidak buru-buru memberikan label terhadap orang-orang dengan gangguan mental tanpa adanya pemahaman utuh terkait gangguan mental tersebut. Sudah saatnya, kita membuka mata dan terbuka terkait isu-isu kesehatan mental yang telah lama kita abaikan.
Dengan demikian, maka dunia akan sangat mungkin menjadi tempat yang ramah bagi siapapun, termasuk orang-orang dengan gangguan mental. Itu karena kita telah menyadari betul bahwa kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan diri sebagai manusia. Gangguan mental tidak lagi jauh dari pemahaman kita, sehingga harapannya tidak ada lagi alasan untuk kita membenarkan stigma yang salah tentang gangguan dan kesehatan mental yang ada di masyarakat.