Benarkah Stres Pada Lansia Berdampak Pada Kondisi Fisiknya?

Lanjut usia (lansia) seringkali diidentikkan dengan penurunan fungsi kognitif, seperti kemampuan dalam mengingat, berbahasa, dan fokus/perhatian. Tidak jarang, penurunan tersebut berdampak pada kondisi emosional para lansia. Mereka cenderung lebih sensitif, ingin lebih diperhatikan, mudah marah, mudah stres atau frustasi karena adanya sejumlah perubahan dalam dirinya.

 ***

Lansia adalah periode yang dihadapi manusia dalam tahapan perkembangannya. Perkembangan tersebut membuat lansia mengalami sejumlah perubahan pada dirinya, diantaranya adanya penurunan fungsi organ, adanya kondisi penyakit kronis, dan penurunan kemampuan untuk menyembuhkan diri sendiri. Perubahan-perubahan tersebut akhirnya berdampak pada kondisi psikologis para lansia. Penurunan kemampuan dan fungsi-fungsi dalam dirinya membuat sejumlah lansia mengalami penderitaan secara emosional.

Stres Pada Lansia

Studi tentang emosi dan lansia menunjukkan adanya respon emosi negatif pada lansia yang mengalami penurunan kemampuan kognitif maupun fisiknya. Hal ini tidak jarang membuat para lansia seringkali mengalami stres akibat kegagalan mempertahankan kondisi stres fisiologis. Lansia telah dihadapkan pada berbagai macam keadaan, peristiwa, dan trauma yang akhirnya membuat lansia seringkali mengalami gejala stres. Gejala stres tersebut bermacam-macam pemicunya, bisa jadi dari lemahnya fisik, peristiwa traumatis seumur hidup, tekanan lingkungan, atau stres karena urusan rumah tangga seperti konflik dengan pasangan. Pemicu stres atau stresor tersebut banyak dikaitkan dengan kondisi psikologis dan kesejahteraan fisik para lansia. Hal itu karena stresor-stresor tersebut merupakan permasalahan kesehatan yang berdampak buruk bagi kesehatan fisik maupun mental para lansia.

Stres yang dialami oleh lansia seringkali berawal dari stresor-stresor dalam bentuk emosi negatif, misalnya amarah. Seseorang di usia lanjut cenderung mengalami penurunan dalam mengontrol amarah. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh University of Alabama, akar dari amarah tersebut adalah perasaan terancam terhadap penurunan harga diri dan martabat lansia atau ketakutan akan perlakuan tidak adil atau kasar yang mungkin akan diterimanya.

Lansia seringkali mengalami stres karena adanya perasaan terancam mengenai harga dirinya yang tidak dianggap atau tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Selain itu, rasa cemas dan khawatir yang berlebihan terhadap kehidupannya atau kehidupan orang-orang terdekatnya juga bisa membuat kondisi lansia semakin buruk secara emosional.

Stres Pada Lansia Juga Berdampak Pada Kondisi Fisiknya

Memburuknya kondisi psikologis lansia akibat adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya, ternyata juga berdampak pada kondisi fisik lansia itu sendiri. Sebuah studi yang mengkaji tentang stres dan kualitas kesehatan pada lansia menyebutkan bahwa, stres mempengaruhi kesehatan fisik dan mental pada lansia.

Emosi-emosi negatif akibat perubahan yang dialami oleh lansia seperti marah, cemas, atau khawatir yang berlebihan ternyata mempengaruhi kondisi fisiknya. Misalnya ketika marah, detak jantung akan cenderung bertambah cepat, arteri menegang dan produksi testosteron meningkat, serta hormon kortisol menurun. Hal ini lama-kelamaan bisa saja memicu gangguan kesehatan fisik seperti hipertensi. Hal ini sejalan dengan konsep psikosomatis dalam psikologi yang menyatakan bahwa munculnya penyakit fisik disebabkan atau sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis.

Meminimalkan Stres Pada Lansia

Seringkali amarah yang dilampiaskan dengan cara yang tidak tepat dapat berdampak pada  lonjakan adrenal, peningkatan detak jantung, dan ketidakstabilan tekanan darah. Bagi seorang lansia, atau lansia yang memiliki gangguan fisik seperti hipertensi bisa berdampak lebih buruk pada kondisi fisiknya. Maka dari itu, amarah perlu untuk diminimalisasi terutama pada lansia yang telah diketahui memiliki gangguan fisik.

Baca juga: Memahami Demensia Pada Lansia dan Pengaruhnya Terhadap Family Caregiver di sini.

Amarah dapat diminimalisasi dengan cara menyadari segala pikiran yang muncul dan menyadari apa yang sebenarnya dirasakan. Dengan kata lain, kesadaran terkait apa yang dipikirkan dan dirasakan, dapat membantu kita dalam mengendalikan emosi dalam diri. Selanjutnya, ketika amarah datang ada baiknya untuk mengambil jarak dengan tujuan menyadari kehadirannya dan menunggu amarah tersebut mereda. Hal tersebut memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk meminimalkan perilaku-perilaku yang tidak perlu selama kemarahan berlangsung.

Baca juga: Bagaimana Mengekspresikan Kemarahan dengan Baik? Di sini.


Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Dimas Huda Mahendra. S.Psi. Dimas dapat dihubungi melalui e-mail: dimashmahendra.dm@gmail.com dan instagram @dimshm.

Let others know the importance of mental health !

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

Apakah Psikolog Sama dengan Psikiater?

Next
Next

CURHAT: Pacar Saya Adalah Pecandu Game dan Judi Online yang Kerap Meminta Uang Kepada Saya Secara Paksa