Cerita Kami: Self-Harm Sebagai Cara Saya Mengobati Luka Batin
Artikel dibawah ini dapat memicu perilaku self-harm dan bunuh diri, segera kunjungi psikolog terdekat di kota Anda jika Anda melakukan self-harm atau memiliki ide bunuh diri.
Sebelumnya, saya tidak pernah didiagnosa memiliki gangguan mental, karena saya memang belum pernah mencari bantuan professional. Saya juga tumbuh di keluarga yang baik-baik saja. Saya tidak pernah mengalami trauma. Masa kecil saya seperti masa kecil orang pada umumnya.
Tapi semenjak tahun 2012, setelah mengalami sebuah pertengkaran, cara saya untuk meringankan beban di benak saya adalah dengan melukai kaki saya sendiri dengan silet. Waktu itu saya masih berusia 12 tahun dan belum mengetahui apa-apa mengenai self-harm. Kebiasaan ini berlanjut tiap kali saya mengalami konflik yang terasa sangat berat sehingga membuat saya tidak lagi mampu berpikir kritis.
“Your worst battle is between what you know and what you feel”- Anonymous
Ada saat-saat dimana saya duduk sendiri tengah malam sambil menangis karena saya tidak tahu apa yang salah dengan saya. Tetapi hidup terasa abu-abu. Hidup terasa gelap tanpa cahaya sedikitpun. Di saat-saat seperti itulah saya mengambil silet dan melukai pergelangan tangan saya satu kali, dua kali, tiga kali, sampai air mata saya terhenti.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, “Apakah saya ingin mati”?
Tidak. Saya tidak ingin mati saat itu. Saya hanya ingin menyalurkan luka emosi dan batin saya ke fisik saya. Agar mungkin, luka-luka itu tidak terlalu menyakitkan. Berkontradiksi? Ya, saya tahu. Bodoh? Ya. Tak ada gunanya? Tentu. Tapi percayalah, kata-kata itu, nasehat-nasehat itu, sama sekali tidak akan membantu. Hanya akan membuat saya marah.
Saya tidak butuh Anda untuk memberitahu saya bahwa self-harming tak ada gunanya. Bahwa masih banyak orang yang lebih tidak beruntung dari saya. Saya tahu semua hal itu. Tapi bukan itu yang saya butuhkan.
Menyilet tubuh menjadi cara yang ampuh untuk meringankan kegelisahan dan kesedihan saya. Ada ketenangan yang saya dapatkan dalam merasakan perihnya ketika saya melakukan hal itu yang tidak bisa saya dapatkan melalui tidur, curhat, atau bahkan makan es krim.
Lalu Anda mungkin bertanya, apa tujuan saya menceritakan semua hal ini?
Apakah ada kata “caper” atau “cari perhatian” terlintas di benak Anda?
Tak apa-apa jika itulah yang Anda pikirkan, karena memang komentar itulah yang paling banyak saya dapatkan jika seseorang melihat luka di pergelangan tangan saya. Jika dilihat, hidup saya terlihat baik-baik saja. Tak ada alasan bagi saya untuk melakukan semua itu.
Hal ini juga yang saya tanyakan kepada seorang psikiater yang sempat berkunjung ke SMA saya, “Apa yang salah dengan saya?” Dan akhirnya saya disuruh mendatangi kantornya untuk berkonsultasi. Tapi ujungnya, saya tidak berani pada saat itu karena saya takut menjadi buah bibir masyarakat dan dianggap gila oleh teman-teman dan keluarga saya. Ini prasangka yang masih banyak terjadi di masyarakat mengenai kunjungan ke psikiater atau psikolog.
Kalau mau jujur, memang ada saat-saat dimana saya melukai pergelangan tangan saya untuk perhatian. Karena saya ingin orang lain mendengarkan perasaan saya. Saya ingin ditanya apakah saya baik-baik saja atau tidak. Saya ingin agar orang-orang tahu betapa tersiksanya saya dibalik topeng yang saya tampilkan. Singkatnya, saya ingin mendapat perhatian orang lain. Saya menyukai perhatian yang saya dapatkan itu terutama apabila orang yang saya ajak ngobrol berkepribadian baik dan nyaman untuk diajak curhat.
Tapi tentu orang melakukan self-harm dengan berbagai alasan yang berbeda-beda dan tidak selalu karena perhatian. Saya menjadi sadar terhadap lingkungan saya. Betapa banyaknya remaja-remaja yang dengan mudahnya mengabaikan teriakan tolong temannya karena temannya itu dianggap “cari perhatian”.
Entah tujuannya mencari perhatian atau tidak, hal seperti ini tidak seharusnya diabaikan begitu saja. Mencari perhatian bisa saja menjadi salah satu cara bagi seseorang untuk mencari pertolongan. Menyadarkan orang-orang bahwa depresi tidak memerlukan syarat bahwa seseorang harus memiliki perjalanan hidup yang sulit dan berbelit-belit akan sangat membantu banyak orang yang dicap sebagai “kurang bersyukur” dan “tukang cari perhatian”.
Dengan hal-hal simpel seperti ini, tidak perlu bagi Anda untuk menjadi seorang profesor atau ahli dalam psikologi, Anda mungkin dapat meringankan beban seseorang atau bahkan menyelamatkan nyawa. Apa yang masyarakat butuhkan saat ini bukanlah pelabelan negatif, melainkan pengertian. Bagi Anda yang ingin membaca lebih lanjut mengenai self-harm dalam bahasa Indonesia, silakan membaca artikel selengkapnya di link ini.
Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Veline Chansjaya. Saat ini Veline sedang menjadi mahasiswa Psikologi di sebuah universitas di Surabaya. Dengan tulisan ini, Veline ingin berbagi pengalaman, pikiran dan perasaannya tentang self-harm. Veline dapat dihubungi di instagram: @velinecj
Let others know the importance of mental health !