CURHAT: Sampai Usia Berapa Anak Saya Masih Bisa Dibentuk Karakternya?
Curhat
Halo Pijar Psikologi, saya ingin bertanya, sampai umur berapakah orang tua masih bisa membentuk karakter anak? Kemudian pada umur berapakah yang ideal untuk membiarkan anak hidup mandiri, misalnya memondokkan anak di asrama atau di pesantren?
Gambaran: Laki-laki, 41 tahun, Pegawai Negeri Sipil
Jawaban Pijar Psikologi
Terimakasih atas kepercayaanya untuk bercerita di Pijar Psikologi.
Sebagai orangtua pasti Anda menginginkan dan mengupayakan yang terbaik bagi anak-anak Anda. Termasuk mengusahakan pengasuhan yang terbaik bagi mereka. Semoga jawaban singkat yang saya berikan nantinya dapat membantu Anda dalam menentukan langkah selanjutnya ya. Pada dasarnya kepribadian dan karakteristik seseorang akan cenderung menetap ketika usianya telah mencapai 18 tahun.
Banyak hal yang dapat memengaruhi karakteristik dan kepribadian yang dimiliki seseorang, diantaranya genetik atau sifat turunan dari kedua orangtua dan hasil bentukan lingkungan yang dipengaruhi pola asuh yang diterapkan orangtua serta berbagai pengalaman hidup yang dialami individu yang bersangkutan. Karakteristik yang merupakan sifat turunan dari orangtua atau genetis cenderung menetap dan sulit untuk diubah sedangkan sifat yang merupakan bentukan dari lingkungan cenderung lebih fleksibel dan dengan berjalannya waktu dapat disesuaikan.
Hingga usia berapa orangtua dapat membentuk karakteristik anak? Jika kembali pada pernyataan di atas maka sejatinya selama orangtua tetap konsisten dengan aturan dan pola asuh yang diterapkan, selama itu pula orangtua dapat membentuk karakteristik anak. Pembentukan karakter dapat dimaksimalkan pada masa kanak-kanak dan terus konsisten dijaga hingga karakteristik tersebut bersifat menetap. Karena saat anak telah dewasa, dengan berbagai macam pembelajaran yang ia dapatkan dalam hidup, pengalaman, keyakinan serta kepercayaan yang ia yakini, anak akan mulai memiliki pemikirannya sendiri dan memilih sendiri untuk menjadi pribadi dengan karakteristik yang seperti apa.
Saya berikan sebuah contoh untuk memudahkan Anda memahami apa yang saya maksudkan. Sedari kecil seorang anak dibiasakan untuk selalu berbagi apapun yang ia miliki dengan temannya. Orangtua berharap ia akan menjadi pribadi yang tidak pelit ketika melihat orang lain kesulitan dan mampu menyayangi sesama. Kebiasaan ini terus dibentuk dari kecil hingga anak beranjak remaja dan cenderung menetap karena dilakukan anak setiap saatnya. Ketika anak duduk di bangku SMP, ia merasakan pengalaman yang kurang menyenangkan ketika berbagi dengan orang lain. Misal, ketika ia menawarkan sesuatu terhadap lawan jenis yang ia sukai, penawarannya di tolak di depan umum sehingga hal tersebut menimbulkan trauma dan persepsi yang buruk terhadap berbagi dengan orang lain. Setelah kejadian tersebut bisa saja anak berubah menjadi tidak lagi mau berbagi karena takut mendapat penolakan yang sama, atau jika ia mampu mengatasi trauma yang di alami dan mendapatkan penguatan dari lingkungan sekitarnya untuk tetap menjadi individu yang senang berbagi, ia akan mempertahankan kebiasaan berbagi yang selama ini ia miliki.
Selanjutnya terkait umur ideal dalam memasukkan anak ke asrama atau pesantren, menurut saya akan lebih tepat jika anak dimasukkan saat anak sudah cukup mandiri untuk mengurusi kebutuhannya sendiri. Di awal masa remaja mungkin bisa menjadi pilihan Anda. Karakteristik remaja selalu merasa bahwa ia yang paling benar dan sudah tahu segala hal. Jika orangtua baru memasukkan disaat anak sudah menginjak usia pertengahan atau akhir remaja, ditakutkan ajaran-ajaran serta kebiasaan-kebiasaan baru yang diharapkan di dapat dari asrama atau pesantren akan sulit ia terima.
Hal penting yang perlu orangtua persiapkan ketika hendak memasukkan anak ke dalam asrama atau pesantren adalah mengomunikasikan dan mengondisikan anak untuk tinggal terpisah dengan orangtua dengan tujuan yang lebih baik. Selalu berikan penjelasan kepada anak mengapa Anda menginginkan anak Anda masuk dalam asrama atau pesantren. Komunikasikan harapan yang Anda inginkan dengan pilihan tersebut. Buat anak menyadari bahwa pilihan tersebut di ambil semata-mata karena orangtua menginginkan yang terbaik bagi anak. Jangan sampai anak merasa bahwa ia dimasukkan ke dalam asrama atau pesantren karena, misal, perilakunya yang buruk, anggapan bahwa orangtua tidak lagi sayang kepadanya, ia merasa dibuang oleh keluarga dan lain-lain. Hal-hal ini perlu untuk dikomunikasikan dari jauh-jauh hari agar ketika tiba saatnya anak harus masuk ke dalam pesantren, anak telah siap secara mental. Meskipun demikian, sebagai orangtua juga akan sangat baik jika mampu mendengarkan keinginan anak dan tidak semata-mata keputusan ada di tangan orangtua. Oleh karena itu, orangtua juga memberikan kesempatan kepada anak untuk menyampaikan keinginannya dan orangtua dapat memberikan arahan. Segala keputusan tetap berada ditangan kedua belah pihak.
Semoga balasan singkat ini dapat sedikit membantu ya. Tetap semangat belajar menjadi orangtua yang terbaik bagi anak-anak Anda. Saya dan Keluarga Pijar Psikologi mendoakan yang terbaik untuk Anda dan keluarga.
Salam,
Pijar Psikologi.