Depresi: Sebuah Hal yang Nyata dan Manusiawi
“Emosi manusia dapat digambarkan dalam sebuah spektrum yang panjang. Akan terdapat hari-hari dimana kau berada pada ujung-ujung terbaikmu. Seolah-olah hidup adalah sebuah pelangi dalam setiap detiknya. Dan di beberapa hari selanjutnya, kau juga dapat merasakan sakit, ataupun sedih berkelanjutan yang seperti tak akan pernah berakhir”
– Choo Kah Ying, Pendiri dari Social Enterprise ‘Awakening Minds’
Seakan Tak Bisa Keluar dari ‘Lubang Hitam’
Kita bisa saja mengalami hari yang terasa berat. Rencana-rencana yang telah jelas tergambar pada pikiran kita seketika hancur berantakan. Entah karena beberapa kejadian buruk yang menimpa secara terus-menerus, pertengkaran tiba-tiba yang kita alami dengan ibu di telepon, atau bahkan karena kelas pagi yang seharusnya dihadiri tiba-tiba dibatalkan sepihak. Kemudian kita memutuskan untuk menangisi apa yang terjadi pada hari ini, menyesal bertubi-tubi, atau membawa masalah-masalah itu ke alam mimpi. Kemudian untuk beberapa saat, kita akan merasa baik-baik saja. Namun anehnya, rasa baik-baik saja itu dengan mudah tergantikan akan rasa sedih yang kembali lagi. Dan tanpa kita sadari, kita temukan perasaan sedih dan gelisah itu terus ada selama beberapa minggu selanjutnya.
Banyak yang Menolak Mengakuinya
Yang perlu kita ketahui, gejala-gejala tersebut tak hanya terjadi pada satu atau dua orang saja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh WHO (World Health Organization), angka orang yang mengalami depresi telah naik lebih dari 18 persen sejak tahun 2005. Terdapat sekitar 300 juta orang dengan kekhawatiran dan ketakutan untuk terjerumus pada ‘lubang hitam’ yang sama.
Meskipun begitu, hampir sebagian dari orang dengan depresi menolak untuk mengakuinya. Mungkin respon tersebut dapat dikaitkan dengan stigma dan persepsi lingkungan yang masih terkesan menyepelekan masyarakat dengan gangguan mental, apapun bentuknya. Menurut sebuah studi, berikut adalah persepsi publik terkait orang-orang yang memiliki kecenderungan penyakit mental pada negara-negara berkembang di Asia.
38,3% bagian dari masyarakat merasa bahwa orang-orang dengan gangguan mental termasuk ‘berbahaya’.
49,6% merasa bahwa masyarakat lainnya harus dilindungi dan dijauhkan dari orang-orang yang memiliki gangguan mental.
21,5% percaya bahwa gangguan yang berkaitan dengan mental seseorang adalah sesuatu akibat yang merupakan kesalahan orang itu sendiri.
Sadar ataupun tidak, dalam lingkungan-lingkungan tertentu, masih terdapat prasangka buruk kepada mereka yang memiliki gangguan mental, termasuk depresi. Hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa orang-orang terkesan enggan membagi kesulitan mereka untuk keluar dari penyakit yang berbahaya ini.
Bagaimana Mengomunikasikannya pada Orang Lain?
Seringkali ketika kita bercerita perihal perjuangan dengan depresi kepada orang lain, respon utama yang didengar adalah:
‘Mungkin itu semua hanya ada di pikiranmu.’
‘Kamu harus berusaha melawannya! Aku akan membantumu.’
‘Kamu harus periksa ke dokter secepatnya.’
Atau mungkin berbagai kata-kata membangun lainnya. And as much as these opinions are trying to help, sometimes they are just burdening instead. Aneh memang, dibalik sebuah fakta bahwa orang-orang berusaha untuk membantu, terdapat sesuatu yang entah mengapa dapat membuat orang dengan depresi semakin terpuruk. Mereka cenderung untuk menolak mengakui gangguan depresi yang sedang dimiliki saat ini.
Mungkin karena sebelum meminta pertolongan kepada psikiater atau psikolog, kita sudah terlebih dulu menolak kenyataan bahwa depresi itu sendiri telah tumbuh dan melekat pada kehidupan kita selama ini. Manusia terkadang dapat menjadi sangat perfeksionis untuk menerima bahwa kecacatan dan kekurangan itu pasti ada pada setiap diri kita. Ketidaksempurnaan, perasaan sedih maupun gelisah adalah sebuah hal yang manusiawi.
Depresi adalah Hal yang Manusiawi
Kesimpulannya? Tidak apa-apa bagi kita untuk merasa bahwa kita sedang mengalami depresi, asalkan kita memiliki niat dan keinginan untuk menyembuhkannya. Berhentilah untuk merasa bahwa depresi adalah penyakit yang diturunkan untuk menghukum kita, bahwa kita adalah pribadi yang salah dan berbeda untuk mengalaminya. Hilangkan pemikiran dan stigma jika depresi akan membuat kita menjadi orang yang jauh dari ‘normal’. Cobalah berhenti untuk menyalahkan diri sendiri atas semua perasaan gelisah, sedih, dan pilu yang seakan-akan tak dapat hilang dari kehidupan.
Berdamai dengan kenyataan bahwa akan ada hal-hal yang berubah dalam hidup kita setelah ini akan membantu kita untuk lebih bisa “berteman” dengan depresi itu sendiri. Hal yang perlu kita ketahui dan selalu ingat, perubahan adalah sebuah hal yang wajar. Ambil napas dalam-dalam agar merasa lebih tenang untuk memulai sebuah lembaran hidup dengan kenyataan baru. Kemudian, komunikasikanlah mengenai apa yang sebaiknya kita lakukan kepada para ahli. Penting bagi kita untuk tetap menceritakan kesulitan-kesulitan tersebut agar para ahli dapat membantu.
It takes so much to be a survivor. So be proud. Save yourself, and reach out now.
Sama seperti apa yang telah dikatakan Choo Kah Ying sebelumnya, emosi manusia adalah sebuah spektrum yang panjang. Tidak ada yang dapat menjanjikan bahwa kita akan selalu merasa bahagia setiap saat. Namun satu hal yang pasti adalah, bahwa kita akan baik-baik saja.
Artikel ini adalah sumbang tulisan dari Nadira Firinda. Saat tulisan ini dibuat, ia sedang menempuh semester akhirnya di Institut Teknologi Sepuluh November. Nadira masih bergelut dengan depresi selama dua tahun terakhir. Ia ingin membagikan tulisannya untuk menginspirasi para pembaca Pijar Psikologi. Nadira dapat dihubungi di akun Instagram @nadirafirinda.