Mengobati Luka Batin dengan Memaafkan Diri Sendiri

Tidak ada manusia yang luput dari masalah. Ketika masalah datang, ada yang mampu menyelesaikannya dengan baik, ada pula yang sulit menemukan solusi untuk menyelesaikannya. Terutama masalah yang hubungannya dengan relasi. Perceraian, perselingkuhan, kekerasan yang diterima seseorang dari orang lain, permusuhan, kebencian satu sama lain, merupakan masalah-masalah yang menimbulkan perasaan tak nyaman, menimbulkan dendam pada orang yang kita anggap sebagai ‘musuh’ atau ‘pelaku’ dan melahirkan sebuah luka batin.

Sementara itu, memaafkan pengalaman tersebut bukan hal yang mudah. Kesadaran bahwa menyimpan dendam bukan kondisi yang baik untuk melepaskan amarah juga dapat memakan waktu yang cukup lama. Akibatnya, kita mudah menyalahkan diri sendiri. Kita menyalahkan diri sendiri karena merasa telah gagal dalam hidup dan tidak mampu mengambil tindakan yang tepat saat terjadi masalah.

Mengapa Harus Memaafkan?

Memaafkan bukan artinya kita mengalah dan menyerah pada keadaan. Memaafkan merupakan sebuah mekanisme pelepasan rasa bersalah, rasa tidak nyaman, rasa benci dan marah pada diri sendiri atau orang lain. Perasaan-perasaan negatif tersebut tidak pernah selesai dan selalu membayangi hidup kita. Tanpa kita sadari, kondisi tersebut juga membuat kita dan kebahagiaan menjadi berjarak.

Memaafkan bukan artinya kita menyangkal semua peristiwa tidak menyenangkan yang pernah terjadi pada kita. Memaafkan justru membantu kita menerima dan berpikir lebih baik untuk melanjutkan hidup dengan perasaan yang lebih positif, tentang diri maupun orang lain. Ketika kita pernah disakiti orang lain sampai menimbulkan luka batin tertentu, kita memaafkan dengan tidak menghilangkan konsekuensi yang akan dihadapi orang lain karena tindakannya. Kita memaafkan karena kita fokus akan kesehatan mental kita sendiri.

Di sisi lain, memaafkan mungkin hal yang sulit karena kita memainkan beragam perasaan yang harus diurai satu per satu. Bahkan, kita harus siap dengan kegagalan dalam melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa memaafkan merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu dan upaya. Keadaan diri seseorang tidak akan melemah saat memaafkan, justru memaafkan adalah upaya untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan siap dengan tantangan serupa atau lainnya di masa yang akan datang. Kita juga mungkin tidak akan langsung mendapatkan dampak baiknya, namun memaafkan setidaknya membantu kita mengurai satu per satu simpul rasa negatif yang menumpuk setelah peristiwa-peristiwa traumatis yang menimbulkan luka batin itu terjadi.

 Bagaimana Proses Memaafkan Terjadi ?

Memaafkan diri sendiri merupakan hasil dari proses yang dialami seseorang yang mengambil tanggungjawab untuk ambil bagian dalam situasi yang  mengakibatkan perasaan sakit hati, kerusakan fisik pada orang lain, menyimpan perasaan negatif tentang orang lain dan menyalahkan diri sendiri. Memaafkan diri sendiri dicapai kerika individu berhasil mengenali bahwa mereka tidak sempurna dan bisa gagal menciptakan ideal self bagi diri mereka sendiri. Kita akan sampai pada pemikiran bahwa luka batin yang kita alami terjadi karena banyak faktor sehingga tidak perlu menyalahkan salah satunya. Memaafkan diri sendiri merupakan pintu gerbang kita memaafkan orang lain dan lalu melanjutkan hidup dengan perasaan yang lebih positif. Berikut adalah tahapan dalam memaafkan diri sendiri (Flanagan, 1996) :

  1. Mengenali perasaan kita. Biasanya terjadi setelah kita merenungkan peristiwa demi peristiwa yang membangkitkan rasa marah, bersalah, menyalahkan orang lain, menyalahkan diri sendiri, depresi, dendam, cemas, menyesal yang semua merupakan akibat dari urusan yang belum selesai. Apa yang betul-betul kita rasakan saat ini? Kenali rasa itu.

  2. Tanggung jawab dengan perasaan kita. Membangkitkan kebutuhan untuk memaafkan diri sendiri. Memunculkan empati diri (bukan mengasihani diri) dari pengakuan rasa ketidaksempurnaan. Kita berpikir bahwa kita bukan makhluk yang sempurna yang semua harus serba ideal. Kita mengakui bahwa kita telah menetapkan standar sangat tinggi di atas kemampuan dan kapasitas kita untuk mencapainya.

  3. Ekspresi perasaan kita. Melalui dialog dengan diri sendiri. Berkontemplasi dan berefleksi. Berdialog dengan membahas perasaan negatif apa yang sudah terlibat dalam masalah ini dan nanti harus diubah dalam proses memafkan diri sendiri. Dialog ini bisa berfokus pada diri sendiri atau dengan orang lain.

  4. Menciptakan kembali citra diri yang baru, lebih positif, mengambil masa lalu sebagai referensi dan berorientasi pada masa depan.

Kapan Membutuhkan Konselor/Terapis?

Kita mungkin membutuhkan bantuan profesional ketika mengalami kesulitan dalam proses memaafkan, namunkita terus berpikir bahwa kita harus keluar dari luka batin yang dirasakan. Pada dasarnya, setiap orang memiliki potensi untuk dapat  menyelesaikan masalah sendiri. Apalagi jika supporting system orang tersebut berfungsi dengan baik. Orang terdekat yang mungkin dapat membantu adalah keluarga, teman dekat/sahabat, atau orang-orang lain yang dianggap signifikan dalam hidup seseorang.

Akan tetapi, ada kalanya supporting system kurang berjalan sesuai dengan harapan. Saat kita dalam kondisi yang negatif, tanpa disadari kita mulai menjauh dari orang-orang terdekat. Menarik diri dan menambah rasa negatif dengan menjadi malu, minder, kehilangan kepercayaan diri, merasa diri tidak berharga atau merasa takut ada orang lain yang menyakiti sama dengan yang pernah dialami. Saat itulah kita sulit melihat secara objektif bagaimana sesungguhnya supporting system itu bekerja untuk diri kita. Mereka mungkin mau membantu, namun dengan kondisi kita yang menarik diri akan sulit dijumpai titik temu.

Saat itulah kita membutuhkan batuan dari profesional, baik sebagai konselor ataupun terapis. Profesional dalam hal ini merupakan orang yang netral yang mungkin membuat diri merasa lebih nyaman untuk sharing. Profesional akan membantu untuk mengenali pola-pola yang tidak diharapkan dan mengidentifikasi area-area yang memerlukan perubahan. Kemudian, menavigasi pikiran kita sendiri untuk menemukan akar penyebab luka batin kita. Setelah itu, kita akan dibawa untuk menyusun rencana untuk mendapatkan kembali kesehatan mental dan kebahagiaan melalui kegiatan pemaafan. Kita hanya perlu jujur, terbuka dan percaya sesuai dengan kemampuan dan berpikir positif bahwa professional yang dipilih dapat membantu berjuang mengatasi luka batin yang kita rasakan.

Sumber Bacaan :

(What is forgiveness couseling). https://www.therapytribe.com/therapy/forgiveness-therapy/

Jacinto, G., Edwards, B., (2011). Therapeutic Stages of Forgiveness and Self-Forgiveness. Journal of Human Behavior in the Social Environment, 21:423–437, 2011, DOI: 10.1080/15433714.2011.531215

Ike Herdiana

Seorang staf pengajar dan Psikolog di Fakultas Psikologi Universitas Airlanga Surabaya. Ike juga sedang menempuh pendidikan Program Doktor Ilmu Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Previous
Previous

CURHAT: Saya Takut Bahagia, Takut Merasa Bersalah dan Menarik Diri dari Lingkungan

Next
Next

Butuh Berapa Nyawa lagi? In memoriam of Avicii