Direktori Psikologi: Postpartum Depression (PPD

Sebanyak 10% dari wanita hamil dan 13% dari wanita yang baru melahirkan di dunia mengalami gangguan mental, terutama Postpartum Depression (PPD). Di negara berkembang, angkanya justru lebih tinggi. Sebanyak 15,6% ibu hamil dan 19,8% ibu yang baru melahirkan mengalami gangguan mental. Setengah dari wanita yang didiagnosa dengan PPD sudah mulai mengalami gejala sejak kehamilan, namun banyak dari mereka tidak segera mencari bantuan.

Definisi

Postpartum Depression (PPD; disebut juga Postnatal Depression) dikategorikan sebagai Gangguan Depresi Mayor yang terjadi saat kehamilan atau setelah kelahiran. Pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM-V)  yang merupakan panduan penentuan diagnosis gangguan mental, PPD disebut sebagai Peripartum Depression.

PPD menggunakan gejala depresi untuk penegakan diagnosis sehingga perasaan sedih atau kehilangan minat ditambah gejala-gejala depresi lainnya harus dialami paling tidak selama 2 minggu. Gejala-gejala tersebut dapat mengganggu kemampuan ibu untuk mengurus dan mengasuh bayinya dan berdampak buruk bagi ibu maupun bayi.

Baca selengkapnya mengenai gejala-gejala depresi di sini.

 Gejala

  1. Gejala Postpartum Depression biasanya mulai dirasakan sejak periode kehamilan hingga 1 bulan setelah melahirkan, namun seseorang baru bisa didiagnosis mengalami PPD jika gejala-gejala yang dirasakan berlangsung lebih dari 2 minggu. Jika gejala yang dirasakan hanya berlangsung kurang dari 2 minggu, kemungkinan ibu hanya mengalami Postpartum Blues atau lebih dikenal dengan Baby Blues.

  2. Perasaan sedih dan putus asa yang berlebihan. Ibu juga menangis secara berlebihan karena perasaan-perasaan tersebut. Ada juga yang mengalami perubahan suasana hati yang esktrim.

  3. Muram, tidak tertarik untuk melakukan apa-apa, dan tidak mampu merasa bahagia atas kelahiran bayi. Hal ini menyebabkan ibu kesulitan untuk membangun ikatan psikologis (bonding)dengan bayinya.

  4. Merasakan penurunan harga diri dan merasa takut tidak mampu menjadi ibu yang baik. Rasa malu, bersalah, atau tidak cakap sebagai ibu juga kerap muncul.

  5. Cemas berlebihan atau merasakan panic attack.

  6. Kehilangan nafsu makan atau makan berlebihan.

  7. Mudah lupa, sulit berkonsentrasi, sulit berpikir jernih, dan sulit mengambil keputusan.

  8. Kesulitan tidur atau tidur berlebihan.

  9. Rasa lelah dan tidak berenergi yang berkepanjangan.

  10. Menarik diri dari teman-teman dan keluarga.

  11. Mudah tersulut emosinya atau marah berlebihan.

  12. Memiliki pemikiran untuk menyakiti diri sendiri, bunuh diri, atau menyakiti bayinya.

Terdapat tantangan dalam penegakan diagnosis ibu dengan PPD.Hal tersebut dikarenakan perubahan waktu tidur, kelelahan, dan perubahan nafsu makan merupakan hal yang biasa terjadi pada wanita setelah melahirkan. Oleh karena itu penegakan diagnosis PPD sebaiknya dilakukan oleh psikolog atau psikiater.

 Prediktor

Terdapat beberapa hal yang dapat memprediksi kemungkinan terjadinya PPD. PPD biasanya muncul karena kombinasi dari beberapa prediktor di bawah ini.

  1. Pernah memiliki riwayat gangguan mental, terutama depresi dan gangguan kecemasan, yang dialami saat kehamilan atau setelah melahirkan. Riwayat gangguan mental saat tidak mengalami kehamilan atau melahirkan juga dapat berpengaruh pada kemunculan PPD.

  2. Mengalami situasi yangmemicu stres saat kehamilan atau setelah melahirkan. Konflik perkawinan, penghasilan rendah, atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat menjadi beberapa situasi tersebut.

  3. Lemahnya dukungan sosial.

  4. Tingkat pendidikan yang rendah.

  5. Usia ibu yang masih muda.

  6. Fluktuasi hormon setelah melahirkan.

  7. Perubahan emosi yang diakibatkan adanya masalah dalam pengasuhan bayi, misalnya Air Susu Ibu (ASI) yang sulit keluar. Bisa juga karena bayi membutuhkan perhatian khusus misalnya karena memiliki penyakit atau gangguan tertentu.

  8. Penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang.

  9. Perubahan dalam struktur kimia otak yang terjadi setelah melahirkan.

  10. Kekurangan gizi saat kehamilan.

  11. Kehamilan yang tidak direncanakan atau tidak diinginkan.

  12. Hubungan tidak baik dengan ibu (nenek si bayi).

  13. Tingkat harga diri ibu.

  14. Preferensi jenis kelamin bayi.

Pencegahan

  1. Melakukan kunjungan berkala ke bidan atau dokter saat kehamilan dan mendiskusikan PPD untuk mencegah kemunculannya.

  2. Mengonsumsi suplemen seperti kalsium dan selenium.

  3. Belajar melakukan relaksasi, baik berupa latihan pernapasan atau meditasi untuk menenangkan pikiran.

  4. Membicarakan ketakutan-ketakutan yang dipikirkan dengan suami. Dan mencoba mencari cara untuk menghilangkan rasa takut tersebut bersama.

  5. Mengikuti kelompok dukungan bagi sesama ibu hamil. Mengikuti kelompok dukungan dapat memperkaya pengetahuan dan dukungan ibu terkait kehamilan dan pengasuhan anak.

Usaha-usaha pencegahan di atas dapat dilakukan untuk mencegah PPD, namun tidak berarti mampu sepenuhnya mencegah terjadinya PPD.

Terapi

1. Psikoterapi interpersonal (IPT)

Tujuan dari psikoterapi interpersonal adalah membantu ibu untuk mengidentifikasi dan memodifikasi kesulitan personal dengan cara lebih memahami diri sendiri, peran yang sedang mereka jalani, dan hubungan dengan anggota keluarga lainnya.

2. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)

Cognitive-Behavioral Therapy bertujuan untuk mengenali pemikiran, emosi, dan perilaku yang kurang tepat dan bagaimana ketiga hal tersebut saling mempengaruhi antara satu sama lain. Ibu diarahkan untuk mengidentifikasi pemikiran yang kurang tepat yang dapat memicu munculnya emosi dan perilaku negatif. Fokus dari terapi ini adalah untuk mengubah pola pemikiran yang kurang tepat tersebut agar dapat memperbaiki perilaku dan kondisi emosi.

3. Farmakoterapi

Penggunaan obat antidepresan, baik diikuti dengan psikoterapi maupun dikonsumsi sendiri dapat membantu meringankan gejala PPD. Akan tetapi, ibu perlu mendiskusikan dengan dokter dan keluarga jika ingin mengonsumsi obat antidepresan, terutama jika ibu sedang hamil dan menyusui.

Gangguan Sejenis

  1. Postpartum Blues (PPB) atau akrab dikenal dengan “Baby Blues”: merupakan gangguan yang mirip dengan PPD, hanya saja lebih ringan dan lebih umum terjadi. PPB dapat terjadi pada 80% wanita hamil dan melahirkan. PPB biasanya hanya dirasakan beberapa hari sampai 2 minggu, dan gejalanya lebih ringan. Gejala PPB biasanya tidak sampai membuat ibu kehilangan kemampuan untuk mengurus bayinya atau melakukan kegiatan sehari-hari. Sementara gejala PPD sampai membuat ibu kehilangan kemampuan untuk mengasuh bayi dan melakukan kegiatan sehari-hari.

  2. Postpartum Psychosis (PP): memiliki gejala yang mirip dengan Postpartum Depression, hanya saja PP diikuti dengan munculnya delusi dan halusinasi. PP merupakan gangguan mental yang lebih serius namun lebih jarang terjadi. PP terjadi pada setiap 1 dari 500-1000 kehamilan, berbeda jauh dari PPD yang hanya terjadi pada setiap 1 dari 7 kehamilan. Ibu yang mengalami PP membutuhkan penanganan cepat dan mungkin rawat inap di rumah sakit jiwa. Delusi dan halusinasi yang dialami dapat membuat ibu merasa diperintah untuk membunuh bayinya atau mempercayai bahwa bayinya kerasukan. Jika ibu sudah pernah mengalami PP, maka kemungkinan ia kembali mengalami PP pada tiap kelahiran selanjutnya adalah sebesar 30 sampai 50%.

Catatan

Direktori Psikologi adalah informasi lengkap mengenai gangguan mental yang terdiri dari pembahasan definisi, gejala hingga metode treatment. Semua yang tercantum di direktori ini semata hanya untuk keperluan penambahan pengetahuan. Perlu diketahui, diagnosis gangguan mental tidak bisa diidentifikasi hanya berdasarkan satu atau dua gejala yang dialami. Diagnosis gangguan mental hanya dapat dilakukan oleh psikolog atau psikiater. Jika merasa diri sendiri atau orang terdekat mengalami gejala yang ada disarankan untuk menemui psikolog/psikiater terdekat.

Ayu Yustitia

Psychology graduate. When she’s not busy writing about how to understand mind and soul, she reviews makeup and skincare at senandikaayu.wordpress.com

Previous
Previous

CURHAT: Saya Terus Berpikir Ingin Bunuh Diri. Apa yang Harus Saya Lakukan?

Next
Next

Mengapa Kita Ragu untuk Mengekspresikan Cinta?