Mengapa Kita Mudah Memberi Stigma Terhadap Seseorang dengan Penyakit Menular?

unsplash-image-98__MsKaUsI.jpg

Pandemi COVID-19 yang sedang terjadi di seluruh dunia saat ini sedikit banyak membuat kita merefleksikan diri: sudahkah kita saling menjaga dan peduli kepada sesama manusia di tengah krisis seperti ini, tak terkecuali pada mereka yang juga dinyatakan positif COVID-19?

***

Beberapa berita di media, masih banyak kita temukan pemberitaan mengenai stigmatisasi terhadap pasien COVID-19. Lalu, mengapa kita masih sering melakukan stigmatisasi?

Stigma adalah term kuno yang digunakan untuk mendiskriminasi orang-orang yang dianggap sebagai kriminal, misalnya pengkhianat atau penjahat. Namun, pada beberapa dekade ini, stigma sering digunakan untuk mendiskriminasi suatu perilaku, atribut fisik, atau sifat-sifat negatif lainnya.

Sepanjang sejarahnya, stigmatisasi diketahui tidak menyelesaikan masalah justru adanya stigma berpotensi menyebabkan masalah baru. Misalnya, stigma terhadap orang-orang yang positif terjangkit virus virus flu burung di India, menurut studi adanya stigma pada pasien positif flu burung justru menjadi sebuah masalah yang lebih besar ketimbang wabah flu burung itu sendiri. Adanya stigma tersebut membuat citra India sebagai negara menjadi buruk di mata dunia. Hal ini menyebabkan turis-turis mencoret India sebagai tujuan wisata mereka. Hal tersebut tentu akan berdampak besar pada perekonomian di wilayah India. Sejarah lain yang tercatat dan pernah terjadi adalah wabah virus H1N1 di tahun 2009 yang menimpa beberapa negara di dunia. Berdasarkan sebuah penelitian di tahun 2009 mencatat bahwa stigma terhadap orang dengan H1N1 dapat mengurangi keinginan seseorang untuk berhubungan dengan pasien positif atau bahkan dengan orang lain yang tidak positif.

Stigma merupakan masalah mental yang serius dan perlu ditangani bersama. Stigma ini pun telah banyak melekat pada orang-orang dengan gangguan jiwa. Banyak dari mereka yang memiliki gangguan jiwa sebelumnya, kemudian mereka sudah menjalani masa rehabilitasi dan dinyatakan sembuh. Namun, sekembalinya mereka di masyarakat mereka mendapat stigma yang bisa jadi hal tersebut membuat mereka mengalami relapse (kambuh). Adanya stigma justru membuat perasaan seseorang menjadi tidak nyaman, tidak hanya mereka yang memiliki gangguan jiwa saja, tetapi juga pasien positif COVID-19 yang sekarang ini banyak di sekitar kita.

Baca juga: (Sialnya) Depresi itu Kambuhan di sini.

Apa Dampak Adanya Stigmatisasi?

Adanya stigma mampu menciptakan prasangka sosial yang bisa mendorong perilaku kolektif menjadi tidak terkendali. Contohnya, pada masa pandemi ini banyak sekali terjadi penolakan jenazah pasien COVID-19 meninggal yang akan dimakamkan di beberapa daerah. Tidak hanya itu, beberapa berita di media juga menulis bagaimana tenaga kesehatan ramai-ramai ditolak oleh masyarakat ketika akan pulang ke rumahnya. Kejadian ini bisa menyebabkan rendahnya kerjasama dan support sosial antara masyarakat, pemerintah, dan tenaga kesehatan. Sebuah studi menegaskan bahwa stigma bisa mengganggu proses deteksi dini dan penanganan kasus. Pasalnya, stigma selalu dilekatkan pada suatu hal yang negatif dan secara psikologis, tidak ada satupun manusia yang ingin dipandang secara negatif. Sialnya, stigma membuat sebagian orang di Indonesia berpikir bahwa memiliki gejala yang mirip ataupun dinyatakan positif COVID-19 adalah sebuah aib yang perlu ditutup rapat-rapat. Hal ini justru akan berdampak lebih buruk apabila stigma terus melekat pada orang dengan gejala COVID-19. Karena adanya stigma yang melekat pada COVID-19 tersebut, banyak dari masyarakat kemudian tidak mau mengakui riwayat kesehatannya padahal ia baru saja kontak langsung dengan pasien positif atau baru saja bepergian ke zona merah COVID-19.

Stigma telah lama menjadi permasalahan bahkan di seluruh dunia. Melalui film garapan sutradara India yang berjudul Virus tahun 2019, kita bisa belajar bahwa tidak seharusnya kita memberikan stigma pada mereka yang berjibaku dengan COVID-19, termasuk pasien positif, pasien dalam pengawasan, keluarga pasien, dan tenaga medis yang merawatnya. Rendahnya tingkat literasi dan kesenjangan sosial yang ada di masyarakat kita tidak seharusnya menjadikan kita manusia yang mudah memberikan stigma pada orang lain.

Dalam sebuah studi, Barrett dan Brown peneliti di Atlanta, Amerika menyebutkan bahwa setidaknya ada 4 hal yang akan terjadi akibat adanya stigma selama terjadi pandemi.

  1. Stigma dapat menciptakan tembok besar antara perilaku mencari pertolongan dan deteksi dini untuk mencegah penyebaran virus

  2. Stigma mampu memicu marginalisasi terhadap kelompok-kelompok tertentu yang bisa membawa kemiskinan dan penolakan secara massal

  3. Kelompok yang terstigma akan menjadi tidak percaya dengan instansi kesehatan yang berwenang sehingga tidak terjadi kooperasi yang baik

  4. Stigma dapat memicu kepanikan publik dan sering kali kontra produktif dengan penanganan kasus

Mengapa Kita Mudah Sekali Memberi Stigma?

Stigmatisasi umumnya dialami oleh orang-orang yang dianggap berbeda atau berbahaya. Menjadi berbeda di masyarakat yang kolektivis seperti Indonesia ini, merupakan sebuah hal yang tidak nyaman. Kita mudah sekali memberi label pada sebuah perilaku atau sesuatu yang kita anggap mengerikan, berbahaya, menjijikkan dan/atau berbeda. Tujuannya, agar diri kita tetap memiliki rasa aman (security). Rasa aman sangatlah penting, untuk meredam perasaan kita terhadap ketidakpastian yang membuat kita cemas. Manusia memang tidak suka berada di dalam keadaan yang ambigu terlebih saat pandemi seperti ini. Oleh karena itu, kita cenderung melakukan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Stigma juga terjadi akibat dari bentuk defense orang-orang yang merasa terancam akan bahaya yang ia sendiri tidak ketahui (uncertainty avoidance). Layaknya orang ketakutan, alih-alih mendengarkan penjelasan, mereka justru akan lebih terdorong untuk melakukan tindakan yang bisa mengurangi kecemasan mereka, dan sayangnya stigma mampu meredam kecemasan itu. Dalam kaitannya dengan kondisi COVID-19, stigma akan menjauhkan perasaan seseorang dari sumber bahaya. Meskipun banyak kasus sudah terjadi di lingkungan seseorang, memberi stigma mampu memunculkan bias kognitifdimana dia meyakini apa yang terjadi pada pasien COVID-19 tidak akan terjadi pada dirinya. Jadi, bisa disimpulkan bahwa stigma sebenarnya adalah pengalihan emosi atas rasa takut dalam diri.

***

Stigma memang telah lama melekat dalam budaya dan kebiasaan kita sejak dulu. Namun, dalam momentum ini, pandemi COVID-19 mari kita kembali engingat tentang sejarah peradaban manusia. Kita, menjadi pemenang atas semua hewan di dunia ini dan menempati posisi puncak dalam rantai makanan. Hal itu tidak lain karena kita punya rasa empati dan keinginan untuk bekerjasama. Manusia telah melewati banyak cobaan evolusi dan revolusi beratus-ratus ribu tahun silam. Banyak diantara makhluk yang punah karena tak mampu bertahan, namun kita semua justru mengembangkan peradaban yang luar biasa hebat. Dengan kerjasama dan rasa kepedulian terhadap sesama, niscaya kita mampu bertahan dalam kondisi ekstrim yang telah membinasakan banyak hewan dan makhluk lainnya. Kita telah mampu bertahan menghadapi berbagai pandemi yang hampir memusnahkan sepertiga populasi manusia. Kita juga bisa kembali tumbuh setelah bencana besar dengan saling mendukung dan tolong-menolong antar sesama. Oleh karena itu, percayalah bahwa pandemi ini akan berakhir dan segera berakhir. Namun, dengan satu syarat yaitu: tetaplah peduli terhadap sesama dengan bagaiamanapun caranya. Tetap menjaga jarak aman, lakukan protokol COVID-19 dan berhenti memberi stigma!


Sumber gambar: www.unsplash.com

Mirza Iqbal

Mirza. Chief Editor at Kognisia.co, His jargon is “money can’t buy happiness, but it can buy ice cream”

Previous
Previous

CURHAT: Saya Ingin Bisa Sembuh dari Trauma dan Kembali Hidup Bahagia

Next
Next

CURHAT: Saya Sering Merasa Cemas dan Panik Saat Sedang Bekerja