Siapa Saja yang Beresiko Bunuh Diri?

unsplash-image-t0myyq_X4Pg.jpg

Bunuh diri merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam kasus kematian global. Pada tahun 2016, sebanyak 793.000 kasus bunuh diri terdata di WHO dengan 1 kematian tiap 40 detik. Di Indonesia sendiri, angka kematian akibat bunuh diri diperkirakan mencapai 9.000 kasus per tahun. Angka yang cukup tinggi, yang sepatutnya menyadarkan masyarakat Indonesia akan pentingnya literasi kesehatan mental, terlebih dengan kemudahan akses mendapatkan informasi di era ini.

Berdasarkan data yang tersaji di Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, kasus bunuh diri lebih sering terjadi pada mereka yang berjenis kelamin laki-laki ketimbang perempuan. Jumlah kasus pada laki-laki sebesar 4.8/100.000 penduduk dan perempuan 2.0/100.000 penduduk. Dilihat dari kelompok umurnya, kasus kematian akibat bunuh diri cenderung paling banyak terjadi pada usia lanjut (60 tahun ke atas). Meskipun begitu, ditemukan jumlah kasus yang relatif tinggi dengan angka 5.1/100.000 penduduk pada mereka di kelompok umur 20-29 tahun, melebihi mereka di kelompok umur 30-39 tahun, 40-49 tahun, dan 50-59 tahun.

Faktor Resiko Bunuh Diri

Sebelum seseorang melakukan percobaan bunuh diri, seringkali didahului oleh adanya ide bunuh diri. Ide berupa ujaran seperti, “akan lebih baik apabila saya meninggal saja agar masalah ini cepat selesai” hingga perencanaan terstruktur meliputi kapan, di mana, dan dengan cara apa seseorang akan melakukan percobaan bunuh diri. Maka dari itu, untuk melakukan upaya pencegahan itu diperlukan edukasi yang menyeluruh seputar faktor-faktor resiko apa saja yang dapat merujuk pada perilaku bunuh diri.

  1. Percobaan Bunuh Diri Terdahulu

    Dalam sebuah penelitian, disebutkan bahwa percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan sebelumnya diasosiasikan dengan pengulangan perilaku bunuh diri. Disebutkan setidaknya sekitar 50% korban bunuh diri telah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya sebanyak minimal 1 kali.

  2. Penyalahgunaan Alkohol/Obat-Obatan

    Penyalahgunaan bahan-bahan berbahaya seperti alkohol dan obat-obatan terlarang diasosiasikan dengan perilaku impulsif pada individu terkait. Hal ini dilakukan sebagai salah satu bentuk perilaku untuk mengurangi rasa beban dan stress yang dapat berakibat pada ancaman bunuh diri.

  3. Akses ke Peralatan Berbahaya

    Kemudahan akses pada peralatan berbahaya seperti benda-benda tajam dan senjata api dapat meningkatkan faktor resiko seseorang untuk melakukan bunuh diri. Maka dari itu, diperlukan pengawasan yang ketat, terutama kepada mereka yang pernah terdiagnosa depresi agar dijauhkan dari benda-benda berbahaya.

  4. Gangguan Mental

    Bunuh diri kerap menjadi dermaga terakhir bagi individu yang berjuang menghadapi gangguan mental seperti depresi, gangguan makan, skizofrenia, dan gangguan kecemasan. Dalam banyak penelitian yang telah dilakukan oleh para suicidolog, bukan hal yang baru ketika ditemukan hubungan positif antara gangguan mental dan perilaku bunuh diri. Gangguan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan kerap dikaitkan dengan adanya distorsi kognitif. Distorsi kognitif muncul dalam bentuk kesalahan cara berpikir yang cenderung berlebihan dan tidak rasional seperti “masalah ini akan selesai apabila saya menghilang dari muka bumi” atau “apabila saya mati pun, tidak akan ada yang berduka pada saya”.

  5. Meninggalnya Keluarga/Kerabat Dekat Akibat Bunuh Diri

    Tidak jarang ditemui kasus bunuh diri yang disebabkan oleh kematian keluarga atau kerabat dekat. Fenomena ini disebut dengan suicide contagion. Suicide contagion diawali dengan adanya paparan seseorang pada sebuah perilaku bunuh diri atau disebut juga Exposure to Suicidal Behavior (ESB). Disebutkan bahwa peningkatan resiko bunuh diri setelah ESB lebih sering terjadi pada perempuan.

  6. Orientasi Seksual

    Dalam sebuah penelitian, disebutkan bahwa mereka dengan orientasi homoseksual memiliki tingkat ideasi bunuh diri dan percobaan bunuh diri lebih tinggi daripada mereka dengan orientasi heteroseksual. Penyalahgunaan alkohol dan depresi menjadi faktor resiko ideasi bunuh diri pada individu dengan orientasi homoseksual. Hal ini disebabkan karena mereka dengan orientasi homoseksual mendapatkan penolakan dan diskriminasi yang lebih kuat dari publik. Penolakan dan diskriminasi tersebut kemudian diinternalisasi sehingga menjadikan mereka dengan orientasi homoseksual rentan mengalami gangguan mental yang kemudian beresiko pada perilaku bunuh diri.

***

Stigmatisasi yang masih berkembang mengenai tabunya gangguan kesehatan mental, membuat banyak lapisan masyarakat yang membutuhkan bantuan profesional ragu dan malu untuk mencari bantuan. Gangguan mental yang tidak menerima intervensi dari tenaga profesional dapat berakibat buruk seperti bunuh diri. Mereka yang memiliki idea bunuh diri ataupun yang sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri seharusnya tidak perlu merasa ragu untuk mendapatkan dukungan demi menjadi pulih. Dalam hal ini, penerimaan menjadi hal krusial yang dapat kita lakukan untuk mencegah perilaku bunuh diri. Kita mungkin tidak dapat memahami seberat apa beban yang mereka pikul, tetapi dengan menerima keberadaan mereka apa adanya, mereka akan merasa sangat dihargai. Mari tunjukkan pada saudara-saudari kita yang sedang berjuang, bahwa hidup terlalu berharga untuk ditinggalkan begitu saja.

Karel Kristiawan

Karel saat ini sedang menempuh studi Magister Sains Psikologi di Unika Soegijapranata Semarang. Karel sedang mendalami ilmu tentang perilaku bunuh diri sebagaimana impiannya ingin menjadi seorang suicidolog yang dapat berkontribusi dalam upaya preventif bunuh diri di Indonesia. Karel dapat dihubungi melalui surel karel.kristiawan11@gmail.com

Previous
Previous

Laki-laki dan Bunuh Diri

Next
Next

Mengapa Virtual Meeting Bisa Menguras Energi?