CURHAT: Saya Masih 16 tahun, Tetapi Saya Terpikir untuk Mengakhiri Hidup

Trigger warning!

Jika Anda memiliki pikiran bunuh diri, SEGERA konsultasi dengan psikolog terdekat di kota Anda!

Curhat

Saya seorang pelajar SMA dengan sistem sekolah menggunakan sistem SKS. Pada tahun awal saya masuk sekolah ini, saya sangat ambisius dan bertekad untuk berubah menjadi orang yang lebih baik dari masa SMP dulu. Namun, entah bagaimana, berbagai macam masalah semakin menumpuk, mulai dari kepergian orang-orang tersayang, kehilangan nenek dan sahabat yang selalu menjadi pendengar setia. Ditambah lagi, keadaan rumah pun tidak baik, orang tua saya kerap bertengkar karena ekonomi keluarga yang mulai menurun. Hal-hal yang terjadi sehari-hari dalam hidup saya membuat saya merasa sedang mengalami gangguan kecemasan. Saya mulai kehilangan ketertarikan terhadap hal-hal yang dulu saya gemari seperti membaca buku dan berolahraga. Hal itu juga berpengaruh terhadap prestasi saya di sekolah. Nilai saya mulai menurun dan terancam tidak bisa lulus tepat waktu. Alhasil saya mendapatkan ancaman-ancaman dan tekanan yang datang, baik dari guru dan orang tua saya. Hal itu membuat semuanya semakin memburuk. Bukannya termotivasi, saya malah kehilangan motivasi belajar yang menyebabkan nilai saya mulai anjlok dan saya mulai tertinggal.

Akhir-akhir ini, saya menjadi mudah untuk mengalami trauma sampai-sampai saya gemeteran sampai menangis ketika mendengar suara teriakan dan bantingan pintu. Hal itu membuat saya bertekad kepada diri saya untuk tidak bercerita kepada siapapun karena saya merasa tidak akan ada yang mengerti. Namun, semakin saya pendam sendiri, semakin sering saya merencanakan bunuh diri. Saya sudah melakukan percobaan bunuh diri yang pertama. Waktu itu saya lakukan di dalam toilet sekolah, tetapi saya ditahan oleh guru dan dibawa ke ruang BK. Berjam-jam saya dinasehati, diceramahi, tetapi saya tidak mendapatkan manfaat apapun bahkan salah satu guru saya yang melihat bekas cutting saya mengatakan “harusnya kamu mati aja sekalian.” Sejak saat itu saya semakin yakin untuk bunuh diri. Ditambah lagi, ketika saya bercerita dengan teman, saya justru dicap sebagai attention seekercaper dan over thinking.

Saya dikenal sebagai pribadi yang ceria di lingkungan saya, mungkin itulah mengapa semua orang menganggap tidak serius tentang apa yang saya ceritakan dan rasakan. Orang tua saya adalah tipe orang yang tidak familiar dengan hal-hal yang terkait kesehatan mental, sehingga sayapun tidak luwes ketika merencanakan untuk pergi ke spesialis kejiwaan. Saya sering berencana untuk pergi ke spesialis jiwa, tetapi lagi-lagi saya memilih untuk memendam sendiri dan apa yang saya rasakan saat ini murni hanyalah sebatas pemikiran saya sendiri. Saya baik-baik saja. Salah satu teman menyarankan untuk mencari pengalihan. Namun, semua tidak semudah itu. Saya juga sudah sering melihat video dan mendengarkan lagu motivasi. Namun, itu tidak membantu sama sekali, saya merasa tidak tahan lagi. Semakin hari semakin saya yakin untuk mengakhiri hidup, meskipun saya tahu sebenarnya saya tidak mau mati, saya hanya ingin mengakhiri rasa sakit ini. Saya sudah merencanakan lagi untuk bunuh diri dalam waktu dekat.

Saya tahu dengan bercerita di sini mungkin tidak akan membantu banyak. Namun, saya berharap balasan yang akan saya terima akan sedikit membuat saya lebih baik atau setidaknya bertahan hidup lebih lama. Terima kasih.

Gambaran: Perempuan, 16 Tahun, Pelajar.


Jawaban Pijar Psikologi

Terima kasih atas kepercayaanmu untuk bercerita di Pijar Psikologi.

Kami membayangkan betapa berat kehidupan yang kamu jalani saat ini. Banyak tekanan yang dirasakan. Di sekolah, kamu harus menghadapi tuntutan akademis dan juga sepertinya guru-guru yang ada kurang dapat memahamimu. Di rumah, rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, tempat istirahat, justru ricuh dengan pertengkaran orangtua. Belum lagi hilangnya orang-orang yang mampu memahami dan memberi dukungan. Sepertinya dunia terasa menyempit dan meninggalkanmu seorang diri. Menyesakkan. Melelahkan. Dan sebagaimana dunia yang mulai meninggalkanmu, kamupun mulai menarik diri dari lingkungan. Kamu tidak lagi berbagi cerita dengan orang lain. Meskipun demikian, kamu berkenan untuk berbagi cerita dengan kami. Berbagi sebuah pengalaman yang sangat mendalam dan sangat privasi. Untuk itu, kami, Pijar Psikologi berterima kasih atas kesediaan dan kepercayaan yang telah kamu berikan.

Saat ini mungkin kamu berpikir tidak ada hal yang berharga dari dirimu sendiri. Namun, ada satu sisi positif yang kamu lupakan, yang sangat berharga yaitu keberanianmu untuk menghadapi permasalahan diri yang ada dan meminta bantuan. Meminta bantuan seringkali menjadi perkara yang sulit untuk dilakukan. Seperti yang mungkin kamu sendiri rasakan, mungkin ada pikiran bahwa ini hanyalah pikiran semata dan seharusnya aku bisa menyelesaikannya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Hal yang seringkali dilupakan adalah banyak hal besar terjadi yang berawal dari pikiran.

Pikiran selalu berkaitan dengan emosi dan perilaku. Tak jarang sebuah ide menimbulkan sebuah motivasi yang besar sehingga orang tersebut terdorong untuk menjadikan ide itu menjadi nyata. Misalnya saja pesawat yang berasal dari pikiran untuk membuat seseorang bisa terbang. Pikiran yang mungkin dinilai tidak berarti bisa saja menjadi pemantik sesuatu yang besar.

Terkadang kitapun terbesit pikiran negatif ketika menghadapi suatu situasi. Itu adalah hal yang wajar. Pikiran-pikiran yang negatif terkadang muncul sebagai bentuk respon agar kita siap menghadapi hal-hal yang kurang sesuai dengan yang kita harapkan. Namun, jika pikiran-pikiran negatif itu begitu kuat, muncul berulang kali, hingga mengganggu aktivitas sehari-hari, atau bahkan mendorong seseorang untuk melukai orang lain atau diri sendiri, maka pikiran ini sudah keluar dari batas kewajaran. Oleh karena itu, jika kamu merasa ini sudah membebanimu sehingga kamu membutuhkan bantuan professional, hal itu justru adalah pikiran yang tepat. Tepat karena adanya pemikiran untuk melukai diri atau mengakhiri hidup adalah salah satu gejala gangguan depresi. Untuk itu , kami sangat menganjurkan bagi kamu untuk bertemu dengan psikolog atau psikiater secara tatap muka, karena apa yang bisa kami berikan melalui tulisan ini sangatlah terbatas. Apabila kamu berada di daerah Jakarta atau sekitarnya, kamu bisa mendatangi beberapa biro psikologi, salah satunya adalah LPTUI-sebuah layanan psikologi yang disediakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. LPTUI beralamat di Salemba Raya No. 4 dan bisa dihubungi melalui (021)314-5078/390-7408/390-8995.

Jika seandainya kami saat ini bisa berbicara dengan kamu secara tatap muka, maka kami tidak segan untuk memelukmu. Kami tahu apa yang kamu alami sangatlah berat. Kami juga bertemu dengan mereka yang mengalami hal yang serupa sehingga sedikit banyak kami bisa memahami keinginan yang besar untuk lepas dari rasa sakit. Ketika teringat dengan salah satu teman yang memiliki pengalaman yang serupa. Kami pernah berbincang cukup dalam hingga akhirnya kami mendapatkan sebuah pemikiran, yaitu bahwa dibalik dorongan untuk melukai diri, ada sebuah dorongan lain yang sepertinya terlupakan, yaitu dorongan untuk hidup dan mengalami pengalaman yang sempurna. Namun, ketika yang dialami adalah sebaliknya, sesuatu yang tidak sempurna, tidak sesuai harapan, muncul dorongan untuk menghukum diri atas ketidaksempurnaan itu. Dari sini, kita bisa belajar bahwa selama ini banyak pikiran-pikiran “seharusnya…”, “seharusnya aku…”, “seharusnya tidak…”, dan masih banyak “seharusnya…” dan “harus” yang lain. Hal tersebut membuat kita lupa bahwa terkadang kita tidak dapat mengendalikan semuanya, bagaimanapun kerasnya usaha kita untuk mencoba. Kita lupa bahwa ada kalanya kita perlu mengatakan “tidak apa-apa” kepada diri sendiri. Dari sinilah kita mampu belajar untuk memaafkan ketidaksempurnaan yang melekat pada diri maupun pada pengalaman-pengalaman hidup yang terjadi. Pun tetap saja pembelajaran itu berlangsung terus setiap harinya. Belajar untuk berdamai dengan diri dan tetap bertahan serta berjuang untuk itu, karena luka bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, luka adalah tanda bahwa kita “survive”.

Ibarat balon, mungkin saat ini balonmu sudah penuh sekali dengan udara, sehingga cobalah untuk mengeluarkan udara yang mengisi balon itu sedikit demi sedikit. Di bawah ini ada beberapa alternatif cara untuk mengeluarkan udara dari balon kamu dan mengurangi tekanan yang ada.

1. Berbagi dengan orang yang kamu percaya

Ketika berbagi dengan orang lain meskipun tidak sekaligus menyelesaikan masalah, kita bisa mengeluarkan sedikit tekanan yang ada dalam diri. Selain itu, dengan berbagi kita bisa mendapatkan masukan dan dukungan. Saat ini kamu mungkin belum menemukan kembali siapa yang dapat menjadi teman berbagi cerita, tidak apa-apa. Dengan memulai berbagi hal-hal kecil yang ringan dalam percakapan sehari-hari, perlahan kita bisa menemukan kepada siapa kita merasa paling nyaman untuk berbagi. Memang tidak semua orang mampu memahami permasalahan kesehatan mental. Namun, tidak ada salahnya untuk mencoba. Dengan begitu mungkin suatu saat akan tiba masanya kita bertemu dengan orang yang bisa memahami.

2. Menuangkan dalam bentuk tulisan, gambar, coretan warna, atau media lain

Jika berbagi kepada orang lain masih sulit untuk dilakukan, kamu bisa mencoba untuk menuangkan apa yang ada di pikiran atau perasaanmu melalui tulisan atau gambar. Jika ini masih sulit dilakukan, kamu bisa menuangkannya dalam coretan-coretan. Kamu bisa menggunakan crayon, pensil warna, bolpen, pensil, ataupun alat tulis lain, lalu tuangkan perasaan atau pikiranmu melalui goresan-goresan. Rasakan bagaimana setiap goresan itu menggambarkan perasaanmu.

3. Relaksasi napas

Relaksasi napas pada dasarnya adalah merasakan udara yang masuk dan keluar ketika kita bernapas. Relaksasi napas digunakan sebagai pertolongan pertama ketika muncul emosi dengan intensitas yang besar, misalnya panik, cemas, takut, marah, dsb. Di bawah ini adalah cara sederhana yang bisa dilakukan untuk relaksasi napas.

  • Posisikan diri dengan nyaman

  • Rasakan udara yang masuk dan keluar ketika bernapas

  • Perlahan-lahan tariklah napaspanjang

  • Rasakan bagaimana udara masuk dan mengalir melalui tenggorokan dan mengisi paru-paru

  • Tahan 3 hitungan

  • Hembuskan secara perlahan

  • Rasakan bagaimana paru-paru mengempis dan udara mengalir keluar

  • Lakukan ini hingga tubuh terasa lebih nyaman

Cara ini bisa juga kamu gunakan ketika kamu merasa takut apabila mendengar suara-suara yang keras.

4. Olahraga

Dengan melakukan olahraga secara rutin, tubuh akan memproduksi hormon serotonin yang dapat meningkatkan emosi positif. Olahraga sederhana bisa kamu mulai kembali pelan-pelan, seperti jogging atau skipping.

5. Kembali melakukan hobi yang sudah lama tidak dilakukan

Melakukan kegiatan yang menjadi hobi memberikan emosi positif tersendiri. Jika saat ini membaca belum lagi memberikan kesenangan seperti dulu, kamu bisa mencari kegiatan positif lain yang bisa memberikan kenyamanan bagi kamu.

Cara-cara ini bisa kamu lakukan sembari mencoba untuk bertemu dengan tenaga profesional. Selain itu, jika muncul pikiran yang kuat untuk melukai diri, kamu bisa mengubungi saveyourselves di situs mereka di saveyourselves.id/

Sekali lagi, terima kasih telah menjulurkan tangan kepada kami, terima kasih kamu masih mau berjuang. Bagi kami, kamu sangat berharga dan berhak untuk merasa bahagia. Sepertinya orang-orang di sekitar kamupun juga berpikir demikian, termasuk teman-temanmu yang melihat dirimu sebagai si ceria, si pemberi warna dalam kehidupan mereka, si penyebar kebahagiaan lewat suara tawamu. Meskipun kami tidak bisa memelukmu secara langsung, kami titipkan peluk erat dan doa melalui tulisan ini. Semua ini menyakitkan, tetapi kami melihat ada kekuatan besar dalam diri kamu untuk dapat terus berjalan maju.

Semoga apa yang kami sampaikan ini bisa memberikan manfaat untukmu.

 

Terima kasih telah berbagi.

Salam,

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

Memahami Kesurupan Massal dari Sudut Pandang Psikologi

Next
Next

Cinematherapy: Sebuah Cara Alternatif Untuk Menjaga Kesehatan Mental