Cerita Kami: Pulang di Hari Raya Hanya Menambah Luka

Bagi anak rantau, hari raya seharusnya menjadi momen yang menyenangkan. Hari ketika mereka bisa melepas rindu kepada orang tua, aroma kampung halaman dan makanan. Bagi saya, tidak.

Bukan karena saya anak durhaka yang tidak mencintai orang tuanya. Bukan karena saya tidak merindukan rumah dan segala isinya. Bukan pula karena saya benci adik-adik saya. Tapi, karena rumah dan hari raya adalah dua hal yang jika digabungkan, rasanya menyiksa.

Personal Space Saya Dilanggar

Saya bukan orang yang nyaman dengan sentuhan fisik. Akan tetapi, setiap hari raya, setiap orang yang bertamu merasa dekat dengan saya. Entah itu saudara jauh atau tetangga rumah yang tak pernah saya sapa, semuanya main cipika cipiki dan asal peluk sana sini. Saya merasa tidak aman. Saya hanya mengizinkan orang-orang yang benar-benar dekat yang bisa masuk ke personal space saya.

Mereka Bertanya Terlalu Banyak

Selain tentang personal space, saya juga lelah dengan orang-orang yang tak punya topik sapaan lain kecuali serangkaian pertanyaan tentang kehidupan pribadi saya. “Sudah kerja? Sudah ada calon?”. Pertanyaan tentang kerjaan sudah bisa saya tangani dengan aman karena saya sudah dapat kerja. Akan tetapi, pertanyaan tentang “calon”, “menikah” atau “suami” membuat saya jengah dan jengkel. Apalagi, kalau yang bertanya teman sepermainan saya yang anaknya sudah dua. Otak saya langsung pening. Seolah hidup perempuan hanyalah sebatas untuk beranak. Seolah jika belum menikah di usia 27 adalah kesalahan fatal. Seolah saya pasti jadi perawan tua, dan memangnya kenapa?

Mudah sekali tetangga rumah asal nyeplos dan berkata “Kapan nyusul sepupumu? Orang tuamu udah pengen loh nimang cucu.”

Ibu kapan kena serangan jantung? Batin saya dalam hati, kemudian saya ingin menceramahinya bahwa jodoh dan kematian itu di tangan Tuhan, jadi mari tak usah saling mengurusi.

Tentunya saya hanya diam saja di hadapan mereka, hanya senyum dan jawab sebisa saya. Tetapi dalam hati saya terluka. Saya mencoba paham, kalau sebagian besar tetangga dan saudara saya tidak paham kalau kalimat-kalimat itu kadang menyakitkan.

Orangtua Memperparah Keadaan

Selain tetangga dan saudara jauh yang tiba-tiba merasa akrab, orang tua juga melontarkan berbagai kalimat yang tidak kalah hebatnya. Jawabannya pun harus dipersiapkan sebaik mungkin, agar tidak salah menjawab dan berujung pada wejangan panjang atau malah lebih parah, dimarahi. Yang jelas, saya tidak nyaman berada dengan orang tua saya karena berbagai alasan.

Pertama, saya anak sulung. Sejak kecil saya diterpa kalimat-kalimat yang membebani saya dengan tuntutan.

“Anak paling besar nanti akan menggantikan orang tua. Harus jadi contoh untuk adik-adiknya. Harus bisa ini itu. Harus tangguh. Bla bla bla.”

Segala macam tuntutan tersebut membuat saya diam-diam berontak. Ayah saya menyarankan saya memilih kuliah di jurusan A, saya akan pilih jurusan B. Ayah saya menyarankan saya kerja di tempat C, saya akan kerja di tempat D. Bagi Ayah mungkin terlihat seperti saya memilih jalan yang saya suka. Padahal, sebenarnya saya hanya tidak mau mengikuti jejak orang tua terus-menerus. Saya bukan robot, saya adalah manusia dewasa yang mengetahui berbagai pilihan jurusan dan kerjaan. Namun setiap kali pulang ke rumah orang tua, saya harus menyiapkan berbagai alasan untuk tidak mengikuti saran mereka terkait pilihan-pilihan hidup saya selanjutnya.

Kedua, saya belum menikah di usia yang (katanya) sudah cukup untuk menikah. Orang tua saya sudah mulai rewel mau mengenalkan saya ke anak temannya. Atau mantan muridnya. Atau entah siapa yang penting bagi mereka baik. Sementara, saya belum mau menikah. Saya masih punya segudang pencapaian yang ingin saya raih dan saya berprinsip pernikahan tidak pernah punya hubungan dengan usia. Ditambah lagi embel-embel mereka ingin punya cucu, yang bagi saya, merupakan tantangan selanjutnya. Artinya saya punya dua beban yang harus saya penuhi untuk mereka: menikah dan punya anak. Dua-duanya, saya belum mau.

Ketiga, saya punya banyak rahasia yang tidak saya ceritakan kepada orang tua, dan saya takut keceplosan. Salah satunya, saya pernah sedih berkepanjangan karena patah hati, sampai-sampai punya pikiran untuk bunuh diri. Masa-masa itu adalah salah satu penyebab sampai sekarang saya belum pernah dengan serius mencari pasangan hidup dan belum mau menikah. Saya punya ketakutan sendiri untuk membayangkan masa depan dengan orang lain. Kalaupun saya sempat dekat dengan laki-laki, saya selalu memperlakukan hubungan kami sebagai sesuatu yang tidak serius. Saya tidak mau menjelaskan itu pada orang tua saya, sementara mereka terus berpikir saya menutup hati dan selalu menasihati saya agar lebih terbuka. Tetapi cara mereka berbicara dengan saya justru membuat semuanya semakin tidak nyaman.

Keempat, saya tidak terlalu nyaman dengan cara orang tua saya mendidik saya. Seringkali saya sedang lelah, lalu Ibu saya meminta bantuan. Ketika saya menolak, ibu saya melontarkan kalimat.

“Kamu itu disuruh bantu orang tua kok susah betul sih? Kebangetan. Nanti durhaka kamu!”

Rasanya sakit dibilang begitu, tak jarang saya menangis diam-diam. Pulang ke rumah artinya saya harus menyiapkan diri untuk kembali mendengar kalimat-kalimat orang tua saya yang menuntut “pamrih” atas jasa mereka membesarkan saya. Sesuatu yang sampai saat ini belum bisa saya pahami, mengapa ada orang tua yang meminta balasan atas jasa mereka? Bukannya saya tidak mau membantu, tapi ada kalanya saya butuh sendiri dan istirahat.

Itu hanya sekelumit dari berbagai alasan mengapa saya takut pulang ke rumah orang tua saya, terutama saat hari raya. Di satu sisi, saya paham orang tua dan keluarga adalah satu-satunya support system yang tidak akan pernah berhenti mendukung saya ketika saya jatuh. Tapi, sampai titik mana mereka bisa mendukung saya? Kalau seluruh rahasia yang selama ini saya pendam saya ceritakan pada mereka, apa benar mereka masih akan mendukung saya? Kalau mereka tahu anaknya bukan anak baik seperti yang mereka harapkan, apa mereka masih akan mendukung saya? Saya rasa tidak. Saya terlalu takut membawa rahasia-rahasia itu pulang. Saya terlalu takut memakai topeng berhari-hari dan berpura-pura “baik-baik saja” di hadapan seluruh keluarga. Karena itulah, saya takut pulang, saya tak mau pulang.

Tentang Penulis

Gisela Kinanti || Generasi millenial yang akan pindah kerja kelima kalinya. Kopi dan Youtube adalah dua hal yang tetap membuatnya waras.

Ingin menyumbangkan tulisan mengenai turbulensi emosimu di Pijarpsikologi.org ? Sampaikan kepada kami melalui menu sumbang tulisanKamu dapat menyumbangkan dua jenis tulisan. Pertama adalah tulisan berbentuk artikel edukatif. Kedua adalah tulisan mengenai gangguan emosi, pikiran dan perilaku yang kamu alami dan ingin kamu bagikan kepada pembaca.

Rubrik #ceritakami adalah sumbangan tulisan pembaca yang berisikan insight dan cerita akan perjalanan mental illness mereka. Rubrik ini bukanlah rubrik curhat yang akan dibalas oleh psikolog. Jika Anda ingin curhat ke psikolog kami, silahkan masuk ke menu konsultasi.

Let others know the importance of mental health !

Pijar Psikologi

Pijar Psikologi adalah media non-profit yang menyediakan informasi kesehatan mental di Indonesia.

Previous
Previous

CURHAT: Saya Merasa Eksistensi Diri Saya Tidak Berguna Pasca Melihat Post di Media Sosial

Next
Next

Direktori Psikologi: Posttraumatic Stress Disorder (PTSD)